PANDUAN MANAJEMEN NYERI (PART II)

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 
TENTANG
PANDUAN MANAJEMEN NYERI (PART II) 
RUMAH SAKIT 
DIREKTUR RUMAH SAKIT 

sambungan dari Part I



8) Manajemen efek samping:
a) Opioid
− Mual dan muntah: antiemetic
− Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gaskembung- kram perut.
− Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan antihistamin.
− Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan benzodiazepine untuk mengatasi mioklonus.
− Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4mg nalokson dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02 mg (0,5ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang.

b) OAINS:
− Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)
− Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.


b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.

c. Non-farmakologi:
1) Olah raga
2) Imobilisasi
3) Pijat
4) Relaksasi
5) Stimulasi saraf transkutan elektrik

5. Follow-up / asesmen ulang
a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan umum:
1) Pemberian parenteral: 30 menit
2) Pemberian oral: 60 menit
3) Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.

6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
2) Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien
3) Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
4) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal control).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik

7. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti biasa / normal.
b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.


E. Manajemen Nyeri Kronik
1. Lakukan asesmen nyeri:
a. anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri sebelumnya)
b. pemeriksaan penunjang: radiologi
c. asesmen fungsional:
1) nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan / disabilitas
2) buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
3) nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan

2. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis:
1) Nyeri neuropatik:
a) Disebabkan oleh kerusakan / disfungsi sistem somatosensorik.
b) Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik.
c) Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
d) Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3bulan

2) Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial
a) mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan ekstremitas bawah.
b) Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat kelemahan, keterbatasan gerak.
c) Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive.
d) Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan)

3) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif):
a) Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-operasi
b) Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera / luka.
c) Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotik/ antirematik, OAINS, kortikosteroid.


4) Nyeri mekanis / kompresi:
a) Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
b) Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur.
c) Merupakan nyeri nosiseptif
d) Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.


3. Nyeri kronik: nyeri yang persisten / berlangsung > 6 minggu


4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)

b. Masalah pekerjaan dan disabilitas

c. Faktor yang mempengaruhi:
1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
2) Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik pasien

d. Hambatan terhadap tatalaksana:
1) Hambatan komunikasi / bahasa
2) Faktor finansial
3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
4) Kepatuhan pasien yang buruk
5) Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman

5. Manajemen nyeri kronik
a. Prinsip level 1:
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi nyeri).

2) Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fungsi

3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
a) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi, dan sebagainya
b) Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen nyerinya
c) Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri
d) Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
e) Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
f) Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien
g) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
h) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.

4) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)


b. Manajemen level 1: menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri kronik termasuk farmakologi, intervensi, non-farmakologi, dan tetapi pelengkap / tambahan.
1) Nyeri Neuropatik
a) Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
− Control gula darah pada pasien DM
− Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien tumor dengan kompresi saraf
− Control infeksi (antibiotic)
b) Terapi simptomatik:
− antidepresan trisiklik (amitriptilin)
− antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
− obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi)
− OAINS, kortikosteroid, opioid
− anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intratekal, infus epidural / intratekal
− terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat
− rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis
− prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf dengan radiofrekuensi
− terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis)


2) Nyeri Otot
a) lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang dapat menghambat pemulihan
b) berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap.
c) Rehabilitasi fisik:
− Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan
− mekanik
− pijat, terapi akuatik
d) manajemen perilaku:
− stress / depresi
− teknik relaksasi
− perilaku kognitif
− ketergantungan obat
− manajemen amarah
e) terapi obat:
− analgesik dan sedasi
− antidepressant
− opioid jarang dibutuhkan


3) Nyeri inflamasi
a) kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya
b) obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid

4) Nyeri mekanis / kompresi
a) penyebab yang sering: tumor / kista yang menimbulkan kompresi pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi, fraktur.
b) Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat bantu.
c) Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.


c. Manajemen level 1 lainnya
1) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri nonneuropatik
2) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker.
3) Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi epidural
4) Terapi pelengkap / tambahan: akupuntur, herbal

d. Manajemen level 2
1) meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
2) Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen level 1
3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen level 1.


F. Manajemen Nyeri Pada Pediatrik
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma, sakit perut dan faktor psikologi
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri


5. Pemberian analgesik:
a. ‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat).
1) Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten).
3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.

4) Analgesik adjuvant
a) Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
b) Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant sebagai level 1.
c) Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik.
d) Kategori:
− Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
− Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant, antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal
− Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot, benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.

b. ‘By the clock’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi.

c. ‘by the child’: mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masing-masing individu.
1) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu

d. ‘By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive, dan efektif; biasanya per oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeriyang kontinu pada anak.

Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid parenteral
intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah
hebat (tidak dapat memberikan obat per oral)

e. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik
3) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obatobatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda vital / skor nyeri.

f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik
1) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi
4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik, dan perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin

h. Panduan penggunaan opioid pada anak:
1) Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah jalur oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus perjam kontinu prn.
3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah: total dosis opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya.
5) Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan dosis sebesar 50%.
6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang menerima opioid >1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiperrefleks, dan kejang.

i. Terapi alternatif / tambahan:
1) Konseling
2) Manipulasi chiropractic
3) Herbal


6. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music, cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan, menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam.


G. Manajemen Nyeri Pada Kelompok Usia Lanjut (Geriatri)
1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang yang berusia ≥ 65 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya dibandingkan dewasa muda.
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit degenerative.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung, tungkai bawah, dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatric.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
6. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan menggunakan Functional Pain Scale

7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi, umpan balik positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.

8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien)
a. Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepressant trisiklik, amitriptilin, ansiolitik.
b. Opioid:
1) risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
2) Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol).
3) Berikan opioid jangka pendek
4) Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik daripada pemberian intermiten.
5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid sebesar 50-100% dari dosis semula.

c. Analgesik adjuvant
1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi nyeri
2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapentin, tramadol, mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.

• Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari


9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.

10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi.

11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi.

12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.

13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.

14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.

15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.

16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian.)

17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.

18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan/ keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mengarah ke depresi karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan fungsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan imunitas tubuh
c. Control nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium.


19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping gastrointestinal lebih besar)
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon, levorphanol (waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik)

20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).

21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan analgesik adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten

22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PANDUAN MANAJEMEN NYERI (PART II) "

Posting Komentar