KEBIJAKAN BATASAN PENULISAN RESEP

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR :290//Dir-SK/XII/2016
TENTANG
KEBIJAKAN BATASAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT 
DIREKTUR RUMAH SAKIT 

MENIMBANG          : 1. Bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada Apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2.  Bahwa rumah sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan dan pembatasan penulisan resep sesuai dengan kebijakan rumah sakit.
3. Bahwa untuk mekanisme penulisan resep dan batasan penulisan resep diatas maka rumah sakit perlu menerbitkan kebijakan batasan penulisan resep.

                                   
MENGINGAT          : 1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.


MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU                  : KEPUTUSAN KEBIJAKAN BATASAN PENULISAN RESEP DIATUR OLEH RUMAH SAKIT.

KEDUA                    : Batasan penulisan resep adalah dokter yang memiliki SIP, dokter umum, dokter gigi.

KETIGA                :  Resep yang ditulis oleh petugas yang berwenang dalam hal penulisan item obat dalam satu lembar resep di batasi maksimal 5 item.

KEEMPAT                : Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun sekali.

KELIMA                   : Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.





Ditetapkan di   :     Tangerang
Tanggal                        :     30 Desember 2016
RUMAH SAKIT  TANGERANG




Direktur
 
 










TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 
4. Kepala Bagian Keperawatan
5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip



SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR          : 290//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL      : 30 Desember 2016

PENULISAN RESEP
1.      Yang berhak menulis resep adalah staf medis purnawaktu, dan dokter tamu yang bertugas dan mempunyai surat izin praktik di RS 
2.      Yang berhak menulis resep narkotika adalah dokter yang memiliki nomor SIP (Surat Izin Praktik) atau SIPK (Surat Izin Praktik Kolektif) di RS 
3.      Yang berhak menulis obat anestesi untuk sedasi adalah dokter yang memiliki nomor SIP (Surat Izin Praktik) atau SIPK (Surat Izin Praktik Kolektif) di RS  dan memiliki kewenangan melalui ketetapan dari direktur utama RS 
4.      Obat-obat yang sedang digunakan pasien sebelum masuk rumah sakit harus dicatat pada rekam medis dan diketahui oleh petugas farmasi, dan dapat diakses oleh petugas kesehatan lain yang terkait.
5.      Resep pertama harus dilakukan penyelarasan obat (medication reconciliation). Penyelarasan obat adalah membandingkan antara daftar obat yang sedang digunakan pasien sebelum admisi dan obat yang akan diresepkan agar tidak terjadi duplikasi, terhentinya terapi suatu obat (omission) atau kesalahan obat lainnya.
6.      Penulis resep harus memperhatikan kemungkinan adanya kontraindikasi, interaksi obat, dan reaksi alergi.
7.      Terapi obat dituliskan dalam resep dan rekam medik hanya ketika obat pertama kali diresepkan, rejimen berubah, atau obat dihentikan. Untuk terapi obat lanjutan pada rekam medik dituliskan “terapi lanjutkan” dan pada catatan pemberian obat tetap dicantumkan nama obat dan rejimennya.
8.      Resep dibuat secara manual pada blanko lembar resep berkop RS  yang telah dibubuhi stempel Unit Pelayanan tempat pasien dirawat/berobat.
9.      Tulisan harus jelas dan dapat dibaca, menggunakan istilah dan singkatan yang lazim sehingga tidak disalahartikan.
10.  Dokter harus mengenali obat-obat yang masuk dalam daftar Look Alike Sound Alike (LASA) yang diterbitkan oleh Unit Farmasi, untuk menghindari kesalahan pembacaan oleh tenaga kesehatan lain.
11.  Obat yang diresepkan harus sesuai dengan Formularium RS .
12.  Pasien dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus diresepkan obat sesuai Formularium Nasional (Fornas). Jika dibutuhkan  obat non Fornas, maka harus mendapatkan persetujuan Tim Pengendali di Unit Pelayanan.
13.  Alat kesehatan yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam Daftar Alat Kesehatan RS .
14.  Jenis-jenis resep yang dapat dilayani : resep reguler, resep  cito, resep pengganti obat emergensi.
15.  Penulisan resep harus dilengkapi/memenuhi hal-hal sebagai berikut :
-          Nama pasien
-          Nomor rekam medis
-          Tanggal lahir
-          Berat badan pasien (untuk pasien anak)
-          Nama dokter
-          Tanggal penulisan resep
-          Nama ruang pelayanan
-          Memastikan ada tidaknya riwayat alergi obat dengan mengisi kolom riwayat alergi obat pada bagian kanan atas lembar resep.
-          Obat ditulis dengan nama generik atau sesuai dengan nama Formularium , dilengkapi dengan bentuk sediaan obat (contoh : injeksi, tablet, kapsul, salep), serta kekuatannya (contoh : 500mg, 1gram)
-          Jumlah sediaan
-          Bila obat berupa racikan dituliskan nama setiap jenis/bahan obat dan jumlah bahan obat (untuk bahan padat : microgram, miligram, dan gram dan untuk cairan : tetes, mililiter, liter).
-          Pencampuran beberapa obat jadi dalam satu sediaan tidak dianjurkan, kecuali sediaan dalam bentuk  tersebut campuran tersebut telah terbukti aman dan efektif.
-          Penggunaan obat off-label (obat yang indikasinya di luar indikasi yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI) harus berdasarkan clinical pathway atau panduan pelayanan medik yang ditetapkan.
-          Aturan pakai (frekuensi, dosis, rute pemberian). Untuk aturan pakai jika perlu atau “prn” atau “pro re nata”, harus dituliskan indikasi (contoh : bila nyeri, bila demam dsb) dan dosis maksimal dalam sehari.
16.  Pasien diberi penjelasan tentang efek tidak diharapkan yang mungkin terjadi akibat penggunaan obat.
17.  Perubahan terhadap resep/instruksi pengobatan yang telah diterima oleh apoteker/asisten apoteker harus diganti dengan resep/instruksi pengobatan baru.
18.  Resep/instruksi pengobatan yang tidak memenuhi kelengkapan  yang ditetapkan, tidak akan dilayani oleh petugas farmasi.
19.  Jika resep/instruksi pengobatan tidak dapat dibaca atau tidak jelas, maka perawat/apoteker/asisten apoteker yang menerima resep/instruksi pengobatan tersebut harus menghubungi dokter penulis resep sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Penanganan Resep Yang Tidak Jelas.
20.  Instruksi lisan (Verbal Order) harus diminimalkan. Instruksi lisan untuk obat High Alert tidak diperbolehkan kecuali dalam situasi emergensi. Instruksi lisan tidak diperbolehkan saat dokter berada di ruang rawat. Pelaksanaan instruksi lisan mengikuti Standar Prosedur Operasional Instruksi Lisan.
21.  Setiap obat yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam rekam medik.
22.  Kelanjutan terapi obat yang sempat dihentikan karena operasi atau sebab lain harus dituliskan kembali dalam bentuk resep/instruksi pengobatan baru.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KEBIJAKAN BATASAN PENULISAN RESEP"

Posting Komentar