KEBIJAKAN MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN
PERATURAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR
: /Dir-SK/XII/2016
TENTANG
KEBIJAKAN
MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
DIREKTUR
RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu
pelayanan farmasi Rumah Sakit ,
maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang medication error dan keselamatan pasien.
2. Bahwa
untuk memberikan keamanan pemberian obat yang tepat dengan pemberian informasi
obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.
3. Bahwa agar
pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Medicatio Error dan keselamatan Pasien oleh IFRS Rumah
Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi
Rumah Sakit .
MENGINGAT :
1. Undang-Undang
RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN
:
KESATU : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN MEDICATION ERROR
DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT .
KEDUA : Kebijakan Medication
Error dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam
lampiran Peraturan ini.
KETIGA : Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi
minimal 1 tahun sekali.
KEEMPAT :
Apabila hasil evaluasi mensyaratkan
adanya perubahan, maka akan dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
|
TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit
4. Kepala Bagian Keperawatan
5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH
SAKIT
Nomor : 339/Dir-SK/XII/2016
Tanggal : 30 Desember 2016
KEBIJAKAN MEDICATION
ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN
RUMAH
SAKIT
Manajemen risiko
adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis,
mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang ada
pada suatu kegiatan. Untuk mengetahui gambaran kegiatan pada suatu unit kerja
(misalnya pada pelayanan kefarmasian), terlebih dahulu dilakukan inventarisasi
kegiatan di unit kerja tersebut.
Inventarisasi dapat dilakukan dengan cara :
- mempelajari diagram kegiatan yang ada
- melakukan inspeksi dengan menggunakan daftar tilik (checklist)
- melakukan konsultasi dengan petugas
Inventarisasi
kegiatan diarahkan kepada perolehan informasi untuk menentukan potensi bahaya (hazard)
yang ada. Bahaya (hazard) adalah sesuatu atau kondisi pada suatu tempat
kerja yang dapat berpotensi menyebabkan kematian, cedera atau kerugian lain.
Pengendalian risiko melalui sistem manajemen dapat dilakukan oleh pihak
manajemen pembuat komitmen dan kebijakan, organisasi, program pengendalian,
prosedur pengendalian, tanggung jawab, pelaksanaan dan evaluasi.
Kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu dapat mendukung terlaksananya
pengendalian secara teknis.
Manajemen risiko
dalam pelayanan kefarmasian terutama medication error meliputi kegiatan
:
- koreksi bila ada kesalahan sesegera mungkin
- pelaporan medication error
- dokumentasi medication error
- pelaporan medication error yang berdampak
cedera
- supervisi setelah terjadinya laporan medication
error
- sistem pencegahan
- pemantauan kesalahan secara periodik
- tindakan preventif
- pelaporan ke tim keselamatan pasien tingkat nasional
Keselamatan
pasien (Patient safety) secara sederhana di definisikan sebagai suatu
upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai
definisi yang sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien
di fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Konsep
keselamatan pasien harus dijalankan secara menyeluruh dan terpadu.
Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien :
a. Menggunakan
obat dan peralatan yang aman
b. Melakukan
praktek klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman
c. Melaksanakan
manajemen risiko, contoh : pengendalian infeksi
d. Membuat dan
meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi kepada
pasien.
e. Meningkatkan
keselamatan pasien dengan :
- mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse event)
- membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event
- mengurangi efek akibat adverse event
Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan
suatu resolusi untuk membentuk program manajemen risiko untuk keselamatan
pasien yang terdiri dari 4 aspek utama:
a. Penentuan
tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk definisi, pengukuran dan
pelaporan dalam mengambil tindakan pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk
mengurangi resiko
b. Penyusunan
kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam standar global yang
akan meningkatkan pelayanan kepada pasien dengan penekanan tertentu pada
beberapa aspek seperti keamanan produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan
pedoman, penggunaan produk obat dan alat kesehatan yang aman dan menciptakan
suatu budaya keselamatan pada petugas kesehatan dan institusi pendidikan.
c. Pengembangan
mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali karakteristik
penyedia pelayanan kesehatan yang unggul dalam keselamatan pasien secara
internasional
d. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penerapan
Keselamatan Pasien
Dalam
penerapannya, keselamatan pasien harus dikelola dengan pendekatan sistemik.
Sistem ini dapat dilihat sebagai suatu sistem terbuka, dimana sistem terkecil
akan dipengaruhi, bahkan tergantung pada sistem yang lebih besar. Sistem
terkecil disebut Mikrosistem, terdiri dari petugas kesehatan dan pasien itu
sendiri, serta proses-proses pemberian pelayanan di ujung tombak, termasuk
elemen-elemen pelayanan di dalamnya. Mikrosistem dipengaruhi oleh Makrosistem,
yang merupakan unit yang lebih besar, misalnya rumah sakit dan apotek.
Mikrosistem dan Makrosistem dipengaruhi oleh system yang lebih besar lagi yang
disebut Megasistem. Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem
(apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi
lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik
elemen-elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya,
sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi.
A. KESELAMATAN PASIEN DALAM
PELAYANAN KEFARMASIAN
Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah
yang perlu difahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut
diantaranya adalah:
- Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)
- Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)
- Kejadan Sentinel
- Adverse Drug Event
- Adverse Drug Reaction
- Medication Error
- Efek samping obat
Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying
Adverse Drug Events: A Clinician’s Guide to terminology, Documentation, and
Reporting, serta dari Glossary AHRQ (Agency for Healthcare Research and
Quality) dapat disimpulkan definisi beberapa istilah yang
berhubungan dengan cedera akibat obat sebagaimana yang disajikan dalam
Tabel 1.
TABEL 1
RINGKASAN DEFINISI YANG BERHUBUNGAN DENGAN CEDERA
AKIBAT OBAT
Istilah
|
Definisi
|
Contoh
|
Terjadi
cedera
• Kejadian
yang
tidak
diharapkan
(Adverse
Event)
|
Kejadian
cedera pada pasien selama proses terapi/penatalaksanaan medis.
Penatalaksanaan
medis
mencakup
seluruh aspek
pelayanan,
termasuk diagnosa, terapi, kegagalan
diagnosa/terapi,
sistem,
peralatan
untuk pelayanan.
Adverse
event dapat dicegah
atau tidak
dapat dicegah.
|
Iritasi
pada kulit karena
penggunaan
perban.
Jatuh dari
tempat tidur.
|
Istilah
|
Definisi
|
Contoh
|
• Reaksi
obat yang
tidak
diharapkan
(Adverse
Drug
Reaction)
|
Kejadian
cedera pada pasien
selama
proses terapi akibat
penggunaan
obat.
|
Steven-Johnson
Syndrom
: Sulfa,
Obat epilepsi dll
|
• Kejadian
tentang
obat yang
tidak
diharapkan
(Adverse
Drug
Event)
|
Respons
yang tidak diharapkan
terhadap
terapi obat dan mengganggu atau menimbulkan cedera pada penggunaan obat
dosis
normal.
Reaksi
Obat Yang Tidak
Diharapkan
(ROTD) ada yang
berkaitan
dengan efek
farmakologi/mekanisme
kerja (efek samping) ada yang tidak berkaitan dengan efek farmakologi (reaksi
hipersensitivitas).
|
• Shok
anafilaksis
pada
penggunaan
antbiotik
golongan
penisilin
•
Mengantuk pada
penggunaan
CTM
|
• Efek
obat yang
tidak
diharapkan (Adverse drug
effect)
|
Respons
yang tidak diharapkan terhadap terapi obat dan mengganggu atau menimbulkan
cedera pada penggunaan obat dosis lazim
Sama
dengan ROTD tapi dilihat dari sudut pandang obat. ROTD dilihat dari sudut
pandang pasien.
|
Shok
anafilaksis pada
penggunaan
antbiotik golongan penisilin.
Mengantuk
pada penggunaan CTM
|
Cedera
dapat terjadi
atau tidak
terjadi
|
||
• Medication
Error
|
Kejadian
yang dapat dicegah
akibat
penggunaan obat, yang menyebabkan cedera.
|
Peresepan
obat yang
tidak
rasional.
Kesalahan
perhitungan
dosis pada
peracikan.
Ketidakpatuhan
pasien
sehingga
terjadi dosis
berlebih.
|
Istilah
|
Definisi
|
Contoh
|
• Efek
Samping
|
Efek yang
dapat diprediksi,
tergantung
pada dosis, yang
bukan efek
tujuan obat. Efek
samping
dapat dikehendaki,
tidak
dikehendaki, atau tidak
ada
kaitannya.
|
(sebaiknya
istilah ini
dihindarkan)
|
Apoteker harus
mampu mengenali istilah-istilah di atas beserta contohnya sehingga dapat
membedakan dan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cedera
akibat penggunaan obat dalam melaksanakan program Keselamatan pasien.
Berdasarkan
laporan IOM (Institute of Medicine) tentang adverse event yang
dialami pasien, disebutkan bahwa insiden berhubungan dengan pengobatan
menempati urutan utama. Disimak dari aspek biaya, kejadian 459 adverse drug
event dari 14732 bernilai sebesar $348 juta, senilai $159 juta yang dapat
dicegah (265 dari 459 kejadian). Sebagian besar tidak menimbulkan cedera
namun tetap menimbulkan konsekuensi biaya.
Atas kejadian tersebut, IOM merekomendasikan untuk :
1. Menetapkan suatu fokus nasional terhadap isu
tersebut
2. Mengembangkan suatu sistem pelaporan kesalahan
secara nasional
3. Meningkatkan standar organisasi
4. Menciptakan sistem keselamatan dalam organisasi
kesehatan.
Penelitian
terbaru (Allin Hospital) menunjukkan 2% dari pasien masuk rumah sakit mengalami
adverse drug event yang berdampak meningkatnya Length Of Stay (LOS) 4.6
hari dan meningkatkan biaya kesehatan $ 4.7000 dari setiap pasien yang masuk
rumah sakit. Temuan ini merubah tujuan pelayanan farmasi rumah sakit tersebut :
a fail-safe system that is free of errors. Studi yang dilakukan Bagian
Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM) antara 2001-2003 menunjukkan bahwa medication
error terjadi pada 97% pasien Intensive Care Unit (ICU) antara lain
dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru dan cara
pemberian yang tidak tepat. Lingkup perpindahan/perjalanan obat (meliputi obat,
alat kesehatan, obat untuk diagnostik, gas medis, anastesi) : obat dibawa
pasien di komunitas, di rumah sakit, pindah antar ruang, antar rumah sakit,
rujukan, pulang, apotek,
praktek dokter. Multidisiplin problem : dipetakan
dalam proses penggunaan obat : pasien/care giver, dokter, apoteker,
perawat, tenaga asisten apoteker, mahasiswa, teknik, administrasi, pabrik obat.
Kejadian medication error dimungkinkan tidak mudah untuk dikenali,
diperlukan kompetensi dan pengalaman, kerjasama-tahap proses.
Tujuan utama
farmakoterapi adalah mencapai kepastian keluaran klinik sehingga meningkatkan
kualitas hidup pasien dan meminimalkan risiko baik yang tampak maupun yang
potensial meliputi obat (bebas maupun dengan resep), alat kesehatan pendukung
proses pengobatan (drug administration devices). Timbulnya kejadian yang
tidak sesuai dengan tujuan (incidence/hazard) dikatakan sebagai drug
misadventuring, terdiri dari medication errors dan adverse drug
reaction.
Ada beberapa
pengelompokan medication error sesuai dengan dampak dan proses (tabel 2
dan 3). Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai dasar analisa dan
intervensi yang tepat.
Tabel 2 . Indeks medication errors untuk
kategorisasi errors (berdasarkan dampak)
Errors
|
Kategori
|
Hasil
|
No error
|
A
|
Kejadian
atau yang berpotensi untuk terjadinya kesalahan
|
Error, no
|
B
|
Terjadi
kesalahan sebelum obat mencapai pasien
|
harm
|
C
|
Terjadi
kesalahan dan obat sudah diminum/digunakan
pasien
tetapi tidak membahayakan pasien
|
D dilakukan
tetapi tidak membahayakan pasien
|
Terjadinya
kesalahan, sehingga monitoring ketat harus
|
|
Error,
harm
|
E
|
Terjadi
kesalahan, hingga terapi dan intervensi lanjut
diperlukan
dan kesalahan ini memberikan efek yang buruk
yang
sifatnya sementara
|
F
|
Terjadi
kesalahan dan mengakibatkan pasien harus
dirawat
lebih lama di rumah sakit serta memberikan efek
buruk yang
sifatnya sementara
|
|
G
|
Terjadi
kesalahan yang mengakibatkan efek buruk yang
bersifat
permanen
|
|
H
|
Terjadi
kesalahan dan hampir merenggut nyawa pasien
contoh
syok anafilaktik
|
|
Error,
death
|
I
|
Terjadi
kesalahan dan pasien meninggal dunia
|
Tabel 3 . Jenis-jenis medication errors (berdasarkan
alur proses pengobatan)
Tipe Medication
Errors
|
Keterangan
|
Unauthorized
drug
|
Obat yang
terlanjur diserahkan kepada pasien padahal
diresepkan
oleh bukan dokter yang berwenang
|
Improper
dose/quantity
|
Dosis, strength
atau jumlah obat yang tidak sesuai
dengan
yang dimaskud dalam resep
|
Wrong dose
preparation
method
|
Penyiapan/
formulasi atau pencampuran obat yang tidak
sesuai
|
Wrong dose
form
|
Obat yang
diserahkan dalam dosis dan cara pemberian
yang tidak
sesuai dengan yang diperintahkan di dalam
resep
|
Wrong
patient
|
Obat
diserahkan atau diberikan pada pasien yang keliru
yang tidak
sesuai dengan yang tertera di resep
|
Omission
error
|
Gagal
dalam memberikan dosis sesuai permintaan,
mengabaikan
penolakan pasien atau keputusan klinik yang mengisyaratkan untuk tidak
diberikan obat yang
bersangkutan
|
Extra dose
|
Memberikan
duplikasi obat pada waktu yang berbeda
|
Prescribing
error
|
Obat
diresepkan secara keliru atau perintah diberikan
secara
lisan atau diresepkan oleh dokter yang tidak
berkompeten
|
Wrong
administration
technique
|
Menggunakan
cara pemberian yang keliru termasuk
misalnya
menyiapkan obat dengan teknik yang tidak
dibenarkan
(misalkan obat im diberikan iv)
|
Wrong time
|
Obat
diberikan tidak sesuai dengan jadwal pemberian
atau
diluar jadwal yang ditetapkan
|
JCAHO (2007)
menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis dalam proses manajemen obat :
sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage,
distribution), sistem permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering
and transcribing), sistem penyiapan, labelisasi/etiket, peracikan,
dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi (preparing
dan dispensing), teknik penggunaan obat pasien (administration),
pemantauan efektifitas penggunaan (monitoring). Didalamnya termasuk
system kerjasama dengan tenaga kesehatan terkait baik kompetensi maupun
kewenangannya, sistem pelaporan masalah obat dengan upaya perbaikan, informasi
obat yang selalu tersedia, keberadaan apoteker dalam pelayanan, adanya prosedur
khusus obat dan alat yang memerlukan perhatian khusus karena dampak yang
membahayakan.
WHO dalam developing
pharmacy practice-a focus on patient care membedakan tentang praktek
farmasi (berhubungan dengan pasien langsung) dan pelayanan farmasi
(berhubungan dengan kualitas obat dan sistem proses pelayanan farmasi)
- Praktek pekerjaan kefarmasian meliputi obat-obatan,
pengadaan produk farmasi dan pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker
dalam sistem pelayanan kesehatan.
- Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang
diberikan oleh tenaga farmasi dalam mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar
suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi informasi, pendidikan dan
komunikasi untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, pemberian informasi obat
dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf.
- Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan
pelayanan lain untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan manfaat yang
terbaik.
Klasifikasi aktivitas apoteker (American
Pharmacists Association/APha)
A. Memastikan terapi dan hasil yang sesuai
a. Memastikan farmakoterapi yang sesuai
b. Memastikan kepahaman/kepatuhan pasien terhadap
rencana pengobatannya
c. Monitoring dan pelaporan hasil
B. Dispensing obat dan alat kesehatan
a. Memproses resep atau pesanan obat
b. Menyiapkan produk farmasi
c. Mengantarkan obat atau alat kesehatan
C. Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit
a. Pengantaran jasa penanggulangan klinis
b. Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat
c. Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat
D. Manajemen sistem kesehatan
a. Pengelolaan praktek
b. Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan
c. Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan
d. Partisipasi dalam aktivitas penelitian
e. Kerjasama antardisiplin
Pada tahun 1998, FIP menerbitkan suatu statemen
tentang Standard profesional mengenai kesalahan pengobatan yang berhubungan dengan
peresepan obat dengan tujuan mendefinisikan istilah "kesalahan
pengobatan" dan untuk menyarankan suatu tatanama standard untuk
mengkategorikan hal-hal seperti kesalahan dan disain sistemnya untuk
meningkatkan keselamatan dalam pabrikasi, pemesanan, pelabelan, penyiapan,
administrasi dan penggunaan obat.
Dalam, relasi
antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagi penyedia obat
(pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari
farmakoterapi. Dengan berubahnya situasi secara cepat di system kesehatan,
praktek asuhan kefarmasian diasumsikan apoteker bertanggung jawab terhadap
pasien dan masyarakat tidak hanya menerima asumsi tersebut.
Dengan demikian
apoteker bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya, kualitas, hasil
pelayanan kefarmasian. Dalam aplikasi praktek pelayanan kefarmasian untuk
keselamatan pasien terutama medication error adalah : menurunkan risiko
dan promosi penggunaan obat yang aman.
Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya
menurunkan medication error yang jika dipaparkan menurut urutan dampak
efektifitas terbesar adalah :
1. Mendorong
fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints) : suatu
upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang baik,
contoh : sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% Nacl
0.9%, karena sediaan di pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang
mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi)
2. Otomasi dan
komputer (Computerized Prescribing Order Entry) : membuat statis
/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan
teknologi, contoh : komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter
diikuti dengan ”/tanda peringatan” jika di luar standar (ada penanda
otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g)
3. Standard dan
protokol, standarisasi prosedur : menetapkan standar berdasarkan bukti
ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan
prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta
pemenuhan sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan penting.
4. Sistem daftar
tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang
setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini
diperlukan pemetaan analisis titik kritis dalam sistem.
5. Peraturan dan
Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien. contoh :
semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker
6. Pendidikan
dan Informasi : penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan dan
pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi
dan mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi
7. Lebih
hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif untuk mencegah kesalahan,
contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan.
B. PERAN
APOTEKER DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN PASIEN
Penggunaan obat
rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam mewujudkan
pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di
perhatikan. Dari data-data yang termuat dalam bab terdahulu disebutkan sejumlah
pasien mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan
kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication
error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication
error dapat dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker
yang sudah terlatih. Saat ini di negara-negara maju sudah ada apoteker dengan
spesialisasi khusus menangani medication safety. Peran Apoteker
Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi :
1. Mengelola laporan medication error
• Membuat
kajian terhadap laporan insiden yang masuk
• Mencari akar
permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi
pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety
• Menganalisis
pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
• Mengambil
langkah proaktif untuk pencegahan
• Memfasilitasi
perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering terjadi atau
berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk
menggalakkan praktek pengobatan yang aman
• Mengembangkan
program pendidikan untuk meningkatkan medication safety dan kepatuhan
terhadap aturan/SOP yang ada
4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan
dengan medication safety
• Komite
Keselamatan Pasien RS
• Dan komite
terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian
kebijakan penggunaan obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan
Keselamatan Pasien yang ada
Peran apoteker
dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek manajemen
dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem
pengendalian (misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi
skrining permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus,
penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan evaluasi.
Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima
pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan
kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi
klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang
meliputi :
1.
Pemilihan
Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko
insiden/error dapat diturunkan dengan pengendalian jumlah item obat dan
penggunaan obat-obat sesuai formularium.
2.
Pengadaan
Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman
efektif dan sesuai peraturan yang berlaku (legalitas) dan diperoleh dari
distributor resmi.
3.
Penyimpanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan
untuk menurunkan kesalahan pengambilan obat dan menjamin mutu obat:
• Simpan obat
dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication
names) secara terpisah.
• Obat-obat
dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan
cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :
o menyimpan
cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin,
kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik,
dan agonis adrenergik.
o kelompok obat
antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis, tetapi
tempatkan secara terpisah
• Simpan obat
sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4.
Skrining Resep
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan
terjadinya medication error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien.
• Identifikasi
pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam medik/ nomor
resep,
• Apoteker
tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk
mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi
dokter penulis resep.
• Dapatkan
informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan
pemberian obat, seperti :
o Data
demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis
dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat
badan pasien yang menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk
keperluan perhitungan dosis.
o Hasil
pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan
parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang
penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti
pada penurunan fungsi ginjal).
• Apoteker
harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
• Strategi
lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing)
dan pencatatan pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
• Permintaan
obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus
dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan
mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus
diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang
menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat
konfirmasi.
5.
Dispensing
• Peracikan
obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
• Pemberian
etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat
pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
• Dilakukan
pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
• Pemeriksaan
meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan
kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
6.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan
mengenai hal-hal yang penting tentang obat dan pengobatannya. Hal-hal yang
harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien adalah :
• Pemahaman
yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan obat dengan
benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan harus kembali
ke dokter
• Peringatan
yang berkaitan dengan proses pengobatan
• Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain dan
makanan harus dijelaskan kepada pasien
• Reaksi obat
yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang mengakibatkan
cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana cara mengatasi
kemungkinan terjadinya ADR tersebut
• Penyimpanan
dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah rusak atau
kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai
kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewatkan pada
proses sebelumnya.
7.
Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat
oleh pasien rawat inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya,
bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang perlu diperhatikan adalah
:
• Tepat pasien
• Tepat indikasi
• Tepat waktu pemberian
• Tepat obat
• Tepat dosis
• Tepat label obat (aturan pakai)
• Tepat rute pemberian
8.
Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus
melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi, mewaspadai efek
samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah
pengulangan kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan
kefarmasian harus terlibat didalam program keselamatan pasien khususnya medication
safety dan harus secara terus menerus mengidentifikasi masalah dan
mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication
error antara lain :
• Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam
berkomunikasi )
Kegagalan dalam
berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan
kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan
membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat lainnya
dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan
lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau
ketidak lengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat
daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk
diwaspadai.
• Kondisi lingkungan
Untuk
menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area dispensing
harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan
kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu
area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat
untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
• Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan
mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
• Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting
untuk mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan
kesalahan.
• Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak
cukup kuat dalam menurunkan insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan
peran penting ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di
rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada
buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety)
(diterbitkan oleh Depkes tahun 2006) :
1. Bangun
kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang
terbuka dan adil
• Adanya
kebijakan Instalasi Farmasi RS/Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya tentang
Keselamatan Pasien yang meliputi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian
nyaris cedera (KNC), Kejadian Sentinel, dan langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh apoteker dan tenaga farmasi, pasien dan keluarga jika terjadi
insiden.
• Buat,
sosialisasikan dan penerapan SOP sebagai tindak lanjut setiap kebijakan
• Buat buku
catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel kemudian laporkan ke atasan
langsung
2. Pimpin dan
Dukung Staf Anda
Bangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien
di tempat pelayanan (instalasi farmasi/apotek)
• Adanya suatu
tim di Instalasi Farmasi/Apotek yang bertanggung jawab terhadap keselamatan
pasien (sesuai dengan kondisi)
• Tunjuk staf Instalasi Farmasi/Apotek yang bisa
menjadi penggerak dan mampu mensosialisasikan program (leader)
• Adakan
pelatihan untuk staf dan pastikan pelatihan ini diikuti oleh seluruh staf dan
tempatkan staf sesuai kompetensi
Staf farmasi
harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SOP yang berkaitan dengan proses
dispensing yang akurat, mengenai nama dan bentuk obat-obat yang membingungkan,
obat-obat formularium/non formularium, obat-obat yang ditanggung
asuransi/non-asuransi, obat-obat baru dan obat-obat yang memerlukan perhatian
khusus. Disamping itu petugas farmasi harus mewaspadai dan mencegah medication
error yang dapat terjadi.
• Tumbuhkan
budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar staf berani
melaporkan setiap insiden yang terjadi
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta
lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah
• Buat kajian
setiap adanya laporan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel
• Buat solusi
dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan mengevaluasi SOP yang sudah
ada atau mengembangkan SOP bila diperlukan
4. Kembangkan Sistem Pelaporan
• Pastikan
semua staf Instalasi Farmasi/Apotek dengan mudah dapat melaporkan insiden
kepada atasan langsung tanpa rasa takut
• Beri
penghargaan pada staf yang melaporkan
5. Libatkan dan Komunikasi Dengan Pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan
pasien
• Pastikan
setiap penyerahan obat diikuti dengan pemberian Informasi yang jelas dan tepat
• Dorong
pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan apoteker tentang obat
yang diterima
• Lakukan
komunikasi kepada pasien dan keluarga bila ada insiden serta berikan solusi
tentang insiden yang dilaporkan.
6. Belajar dan
Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien
Dorong staf untuk melakukan analisis penyebab masalah
• Lakukan
kajian insiden dan sampaikan kepada staf lainnya untuk menghindari berulangnya
insiden
7. Cegah KTD, KNC dan Kejadian Sentinel dengan cara :
• Gunakan
informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari system pelaporan, asesmen
risiko, kajian insiden dan audit serta analisis untuk menentukan solusi
• Buat solusi
yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design system), penyesuaian
SOP yang menjamin keselamatan pasien
• Sosialisasikan
solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi/Apotek
C. PENCATATAN
DAN PELAPORAN
Di Indonesia
data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan
Kejadian Sentinel masih sangat langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian
baik di rumah sakit maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan
pelaporan semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien meliputi KTD, KNC,
dan Kejadian Sentinel. Pelaporan di rumah sakit dilakukan sesuai dengan Panduan
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) dan Pedoman
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang dikeluarkan oleh Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI). Kejadian terkait dengan keselamatan pasien dalam pelayanan farmasi
komunitas di Indonesia belum mempunyai panduan pelaporan, sehingga kegiatan yang
dilakukan adalah pencatatan untuk monitoring dan evaluasi. Tujuan dilakukan
pelaporan Insiden Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan Insiden
Keselamatan Pasien yang terkait dengan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel serta
meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Sistem pelaporan
mengharuskan semua orang dalam organisasi untuk peduli terhadap bahaya/potensi
bahaya yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk
memonitor upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan menjadi awal
proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Setiap
kejadian dilaporkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan
formulir yang sudah disediakan di rumah sakit untuk diinvestigasi.
1 Prosedur
Pelaporan Insiden
1. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah
terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi.
2. Laporan insiden dapat dibuat oleh siapa saja atau
staf farmasi yang pertama kali menemukan kejadian atau terlibat dalam kejadian.
3. Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir
Laporan Insiden” yang bersifat rahasia
2 Alur
Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit (Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian
Sentinel) terkait dengan pelayanan kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti
(dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/ akibat yang tidak diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan
insidennya dengan mengisi Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift
kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan menunda laporan (paling lambat 2 x
24 jam).
3. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker
penanggung jawab
4. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan
melakukan grading risiko terhadap insiden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk
investigasi dan analisis yang akan dilakukan :
• Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab,
waktu maksimal 1 minggu
• Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab,
waktu maksimal 2 minggu
• Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA)
oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari
• Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA)
oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana,
laporan hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
7. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil
investigasi dan Laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan
investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA) dengan melakukan Regrading
8. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan
melakukan Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA),
Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi untuk perbaikan serta
“pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert untuk mencegah kejadian
yang sama terulang kembali
10. Hasil Root Cause Analysis (RCA),
rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi
11. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran”
diberikan umpan balik kepada instalasi farmasi.
12. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis
dan tren kejadian di satuan kerjanya
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di
RS.
Peran Apoteker Dalam Penyusunan Laporan
Idealnya setiap
KTD/KNC/Kejadian Sentinel yang terkait dengan penggunaan obat harus dikaji
terlebih dahulu oleh apoteker yang berpengalaman sebelum diserahkan kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Tujuan pengkajian untuk memastikan bahwa
laporan tersebut sudah sesuai, nama obat yang dilaporkan benar, dan memasukkan
dalam kategori insiden yang benar. Kategori kesalahan dalam pemberian obat
adalah :
• Pasien mengalami reaksi alergi
• Kontraindikasi
• Obat kadaluwarsa
• Bentuk sediaan yang salah
• Frekuensi pemberian yang salah
• Label obat salah / tidak ada / tidak jelas
• Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak
jelas
• Obat diberikan pada pasien yang salah
• Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah
• Jumlah obat yang tidak sesuai
• ADR ( jika digunakan berulang )
• Rute pemberian yang salah
• Cara penyimpanan yang salah
• Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang
salah
Permasalahan Dalam Pencatatan Dan Pelaporan
Yang bertangggungjawab dalam pencatatan laporan adalah
:
• Staf
IFRS/Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang pertama menemukan kejadian atau
supervisornya
• Staf IFRS/
Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang terlibat dengan kejadian atau
supervisornya
• Staf IFRS/
Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang perlu melaporkan kejadian
Masalah yang dihadapi dalam pencatatan dan pelaporan
kejadian
• Laporan
dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”
• Laporan
sering tidak diuraikan secara rinci karena takut disalahkan
• Laporan
terlambat
• Laporan
kurang lengkap ( cara mengisi formulir salah, data kurang lengkap )
Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan
1. JANGAN melaporkan insiden lebih dari 24 jam
2. JANGAN menunda laporan insiden dengan alasan belum
ditindaklanjuti atau ditandatangani
3. JANGAN menambah catatan medis pasien bila telah
tercatat dalam laporan insiden
4. JANGAN meletakan laporan insiden sebagai bagian
dari rekam medic pasien
5. JANGAN membuat salinan laporan insiden untuk alasan
apapun
6. CATATLAH keadaan yang tidak diantisipasi
Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan
- Pandangan
bahwa kesalahan adalah suatu kegagalan dan kesalahan dibebankan pada satu orang
saja.
- Takut
disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan Kejadian sentinel akan
membeberkan keburukan dari personal atau tim yang ada dalam rumah sakit/sarana
pelayanan kesehatan lain.
- Terkena
risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.
- Laporan
disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan
- Pelaporan
tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor
- Kurangnya
sumber daya
- Kurang jelas
batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat
- Sulitnya
membuat laporan dan menghabiskan waktu
‘
Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat harus didokumentasikan
di Instalasi Farmasi/ sarana pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring,
evaluasi dan tindak lanjut.
D. MONITORING
DAN EVALUASI
Sebagai tindak
lanjut terhadap Program Keselamatan Pasien, Apoteker perlu melakukan kegiatan
monitoring dan evaluasi di unit kerjanya secara berkala. Monitoring merupakan
kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait Program
Keselamatan Pasien. Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian
terkait Program Keselamatan Pasien. Tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi
agar pelayanan kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan kaidah keselamatan
pasien dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan berulang
dimasa yang akan datang.
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap :
- Sumber daya
manusia (SDM)
- Pengelolaan
perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan
dan distribusi/penggunaan)
- Pelayanan
farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian informasi obat,
konseling obat, rekonstitusi obat kanker, iv.admixture, total parenteral
nutrition, therapeutic drug monitoring)
- Laporan yang
didokumentasikan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan
intervensi berupa rekomendasi dan tindak lanjut terhadap hal-hal yang perlu
diperbaiki seperti perbaikan kebijakan, prosedur, peningkatan kinerja SDM,
sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi dan tindak
lanjut ini harus diumpan balikkan ke semua pihak yang terkait dengan program
keselamatan pasien rumah sakit. Untuk mengukur keberhasilan program kegiatan
yang telah ditetapkan diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang menunjuk
pada ukuran kepatuhan terhadap prosedur yang telah ditetapkan.
Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari :
1. Menurunnya
angka kejadian tidak diinginkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) dan
kejadian sentinel.
2. Menurunnya
KTD, KNC dan Kejadian Sentinel yang berulang.
Bagus sekali sesuai dengan kebutuhan kami
BalasHapus