PEDOMAN SURVEILAN RUMAH SAKIT
NOMOR : 993/PER/RSI-SA/I/2014
TENTANG
PEDOMAN
SURVEILAN
RUMAH SAKIT
DIREKTUR RUMAH SAKIT
tenaga kesehatan dan pengunjung di rumah sakit
dihadapkan pada risiko
terjadinya infeksi di rumah sakit atau
infeksi nosokomial;
b. Bahwa pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit
dan fasilitas pelayanan
kesehatan merupakan suatu upaya
untuk meminimalkan atau
mencegah terjadinya infeksi pada
pasien, petugas, pengunjung
dan masyarakat sekitar rumah
sakit;
c. Bahwa salah satu program Pencegahan dan
Pengendalian
Infeksi (PPI) adalah
kegiatan surveilan;
d. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam a,b, dan c, perlu
ketetapan Direktur tentang Pedoman
Organisasi Bagian Laundry di
Rumah Sakit
MENGINGAT
|
: 1.
|
Undang-Undang
|
Republik Indonesia Nomor
44 tahun 2009
|
tentang Rumah Sakit
|
|||
2.
|
Undang-Undang
|
Republik Indonesia Nomor
36 tahun 2009
|
|
tentang Kesehatan
|
|||
3.
|
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 29 tahun 2004
|
||
tentang Praktik Kedokteran
|
|||
4.
|
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
|
||
1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang
Pedoman Organisasi
|
|||
Rumah Sakit Di Lingkungan
Departemen Kesehatan.
|
|||
5.
|
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
|
||
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang
Organisasi dan Tata
|
|||
Kerja Departemen
Kesehatan.
|
|||
6.
|
Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
|
||
1333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan Rumah
|
|||
Sakit.
|
2
7.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menkes/SK/II/2007 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
8.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/XII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
9.
Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik
Nomor H.K.03.01/III/3744/08 tentang Pembentukan Komite dan Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
M E M U T U S K A N :
|
||||
MENETAPKAN
|
:
|
|||
KESATU
|
: Pedoman Organisasi Surveilan Rumah Sakit
|
|||
sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini.
|
||||
KEDUA
|
: Keputusan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkannya dan akan
|
|||
dilakukan evaluasi setiap
tahunnya.
|
||||
KETIGA
|
: Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya
perbaikan maka akan
|
|||
diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya
|
||||
Ditetapkan di
|
: Semarang
|
|||
Tanggal
|
: 15 Rabiul Awal 1435H
|
|||
17 Januari 2014M
|
RUMAH
SAKIT
Direktur
Utama
3
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT AGUNG
NOMOR : 993/PER/RSA/I/2014
TANGGAL : 17 JANUARI 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pencegahan
dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
merupakan suatu upaya kegiatan untuk meminimalkan atau mencegah terjadinya
infeksi pada pasien, petugas, pengunjung dan masyarakat sekitar rumah sakit.
Salah satu program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah kegiatan
surveilan, disamping adanya kegiatan lain seperti pendidikan dan latihan,
kewaspaaan isolasi serta kebijakan penggunaan antimikroba yang rasional.
Kegiatan surveilans infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan salah
satu kegiatan yang penting dan luas dalam program pengendalian infeksi, dan
suatu hal yang harus dilakukan untuk mencapai keberhasilan dari program PPI.
Ditinjau
dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari komunitas (Community Acquired Infection) atau berasal dari lingkungan rumah sakit (Hospital Acquired Infection) yang
sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Karena seringkali tidak bisa secara pasti
ditentukan asal infeksi. Maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital
acquired infection) diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare Associated Infections” (HAIs) dengan pengertian yang
lebih luas tidak hanya di rumah
sakit tetapi juga di gasilitas kesehatan lainnya. Juga tidak terbatas infeksi
pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang didapat pada
saat melakukan tindakan perawatan pasien. Khusus untuk infeksi yang terjadi
atau didapat di rumah sakit selanjutnya disebut Infeksi Rumah Sakit (IRS).
Kegiatan
surveilans infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan ini merupakan suatu proses
yang dinamis, komprehensif dalam mengumpulkan, mengidentifikasi, mengevaluasi
data kejadian yang terjadi dalam suatu populasi yang spesifik dan melaporkannya
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil kegiatan surveilans ini dapat
digunakan sebagai data dasar laju
infeksi di fasilitas kesehatan, untuk menentukan adanya kejadian luar biasa
(KLB) dan sebagai tolok ukur akreditasi rumh sakit.
Kegiatan
surveilans IRS di Indonesia belum dilaksanakan sesuai pedoman ang salah satunya
disebabkan belum tersedianya petunjuk pelaksanaan. Oleh karena itu
4
Petunjuk
Pelaksanaan surveilans Infeksi Rumah Sakit mutlak dibutuhkan dalam rangka
pelaksanaan kegiatan surveilans di rumah sakit.
Setiap
rumah sakit dapat merencanakan dan menetapkan jenis surveilans yang akan
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing rumah sakit.
Dengan adanya kegiatan surveilans pada program Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di rumah sakit (PPIRS) diharapkan dapat menurunkan laju infeksi.
B. Dasar Hukum
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4431).
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5064)
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5072)
4.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di Lingkungan
Departemen Kesehatan.
5.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan.
6.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit.
7.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menkes/SK/II/2007tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
8.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/XII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
9.
Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik
Nomor H.K.03.01/III/3744/08 tentang Pembentukan Komite dan Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit.
C. Tujuan
Diperolehnya
petunjuk pelaksanaan agar petugas dapat melaksanakan surveilans infeksi rumah
sakit sesuai pedoman, yang telah diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI.
5
D. Sasaran
Tim PPI di
rumah sakit milik Pemerintah dan Swasta, Dinas Kesehatan serta Institusi
Pendidikan.
E. Ruang Lingkup
Dengan
dikeluarkannya Pedoman Surveilans Infeksi Rumah Sakit ini diharapkan dapat
dibentuk jejaring surveilans infeksi rumah sakit yang dapat merupakan sumber
data infeksi rumah sakit secara nasional bagi perencanaan program bidang
kesehatan.
6
BAB II
DEFINISI DAN TUJUAN
SURVEILANS IRS
A.
Definisi
Surveilans
IRS adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus-menerus dalam
pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi dari data kesehatan yang
penting pada suatu populasi spesifik yang didesiminasikan secara berkala kepada
pihak-pihak yang memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan dan
evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.
“Healthcare Associated Infections” (HAIs) : An infection occuring in a patient during the process of care in a hospital or other healthcare facility
which was not present or incubating at the time of admission.This includes
infections acquired in the hospital but appearing after discharge, and also occupational infections among staff of the
facility. (Center for Diseases Control, 2007.
Infeksi
Rumah Sakit (IRS) atau Healthcare Associated Infections (HAIs) adalah infeksi
yang terjadi pada pasien selama perawatan di RS atau fasilitas pelayanan
kesehatan lain yang tidak ditemukan dan tidak dalam masa inkubasi saat pasien
masuk RS. IRS juga mencakup infeksi yang didapat di RS tetapi baru muncul
setelah keluar dari RS dan juga infeksi akibat kerja pada tenaga kesehatan.
Ruang
lingkup Pedoman Surveilans ini adalah khusus untuk infeksi rumah sakit (IRS)
yang terjadi pada pasien.
B.
Tujuan Surveilans
Suatu
surveilans harus mempunyai tujuan yang jelas dan ditinjau secara berkala untuk
menyesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan yang telah berubah.
Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi tersebut meliputi:
1.
Adanya infeksi baru
2.
Perubahan kelompok populasi pasien, seperti misalnya
perlu penerapan cara intervensi medis lain yang beresiko tinggi
3.
Perubahan pola kuman penyakit
4.
Perubahan pola resistensi kuman terhadap antibiotik
Pengumpulan
dan analisa data surveilans harus dilakukan dan terkait dengan suatu upaya
pencegahan. Oleh karena itu sebelum merancang sistem dan melaksanakan
surveilans tersebut penting sekali untuk menentukan dan merinci tujuan dari
surveilans terlebih dahulu.
7
Adapun tujuan surveilans
infeksi rumah sakit terutama adalah :
1.
Mendapatkan data dasar Infeksi Rumah Sakit
2.
Menurunkan Laju Infeksi RS
3.
Identifikasi dini Kejadian Luar Biasa (KLB) Infeksi Rumah Sakit
4.
Meyakinkan para tenaga kesehatan tentang adanya masalah
yang memerlukan penanggulangan
5.
Mengukur dan menilai keberhasilan suatu program PPI di RS
6.
Memenuhi standar mutu pelayanan medis dan keperawatan
7.
Salah satu unsur pendukung untuk memenuhi akreditasi RS
Ad. 1. Mendapatkan data dasar IRS
Pada
dasarnya data surveilans IRS digunakan untuk mengukur laju angka dasar (baseline rate) dari infeksi RS. Dengan
demikian dapat diketahui seberapa besr risiko yang dihadapi oleh setiap pasien
yang dirawat di rumah sakit. Sebagian besar (90-95%) dari IRS adalah endemik
dan ini diluar dari KLB yang telah dikenal. Oleh karena itu kegiatan surveilans
IRS ditujukan untuk menurunkan laju angka endemik tersebut.
Meskipun
data surveilans dapat digunakan untuk menentukan laju angka endemik, namun
pengumpulan data saja tidak akan mempengaruhi risiko infeksi jika tidak
disertai dengan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi yang memadai. Bila
demikian maka kegiatan surveilans akan sia-sia belaka, bahkan selain mahal juga
sangat tidak memuaskan semua pihak.
Ad. 2. Menurunkan laju infeksi rumah sakit
Dengan
surveilans ditemukan faktor risiko IRS yang akan diintervensi sehingga dapat
menurunkan laju angka IRS. Untuk mencapai tujuan ini surveilans harus
berdasarkan cara penggunaan data, sumber daya manusia dan dana yang tersedia.
Ad. 3. Identifikasi dini Kejadian Luar Biasa (KLB) Infeksius Rumah
Sakit
Bila
laju angka dasar telah diketahui, maka kita dapat segera mengenali bila terjadi
suatu penyimpangan dari angka dasar tersebut yang mencerminkan suatu
peningkatan kasus atau kejadian luar biasa (outbreak)
dari IRS.
Kejadian
Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan /
atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada daerah dalam kurun waktu
tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus terjadinya wabah.
KLB RS adalah
timbulnya atau meningkatnya kejadian infeksi RS yang menyimpang dari angka dasar endemik yang bermakna
dalam kurun waktu tertentu.
8
Deteksi dini merupakan
kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadi peningkatan kasus infeksi RS dengan cara melakukan pemantauan secara
terus-menerus dan sistematis (surveilans) terhadap faktor risiko terjadinya
infeksi RS.
Untuk
mengenali adanya penyimpangan laju angka infeksi sehingga dapat menetapkan
kejadian tersebut merupakan suatu KLB, sangat diperlukan keterampila khusus
dari para petugas kesehatan yang bertanggung jawab untuk itu.
Petugas
diharapkan mampu memahami kapan suatu keadaan/ kondisi dinyatakan sebagai
kejadian luar biasa. Suatu KLB dinyatakan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
a.
Timbulnya suatu penyakit yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah
b.
Peningkatan kejadian kesakitan trus-menerus selama 3
(tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya
c.
Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya
d.
Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu)
bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka
rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya
e.
Rata-rata jumlah kejadian kesakitan perbulan selama 1
(satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya
f.
Angka kematian kasus suatu penyakti (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.
g.
Angka proporsi penyakit (proportional rate) penderita baru suatu penyakit pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama
Tanpa
adanya keterampilan tersebut maka pengumpulan data yang dilakukan tidak ada
gunanya sama sekali dan KLB akan lewat demikian saja.
Ad. 4. Menyakinkan para tenaga
kesehatan tentang adanya masalah yang memerlukan penanggulangan
Data
surveilans yang diolah dengan baik dan disajikan secara rutin dapat meyakinkan
tenaga kesehatan untuk menerapkan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).
Data ini dapat melengkapi pengetahuan yang didapat dari teori karena lebih
spesifik, nyata dan terpercaya. Umpan balik mengenai informasi
9
seperti
itu biasanya sangat efektif dalam menggiring tenaga kesehatan untuk melakukan
upaya PPI RS.
Ad. 5. Mengukur dan menilai keberhasilan suatu program PPIRS
Setelah
permasalahan dapat teridentifikasi dengan adanya data surveilans serta upaya
pencegahan dan pengendalian telah dijalankan, maka masih diperlukan surveilans
secara berkesinambungan guna meyakinkan bahwa permasalahan yang ada benar-benar
telah terkendalikan. Dengan pemantauan yang terus-menerus maka suatu upaya
pengendalian yang nampaknya rasional kadang akhirnya dapat diketahui bahwa
ternyata tidak efektif sama sekali, sebagai contoh, bahwa perawatan meatus
setiap hari untuk mencegah IRS saluran kemih yang nampak rsional namun data
surveilans menunjukkan bahwa tidak ada manfaatnya.
Ad. 6. Memenuhi standar mutu pelayanan medis dan keperawatan
Penataaksanaan
pasien yang baik dan tepat dalam hal megatasi dan mencegah penularan infeksi
serta menurunkan angka resistensi terhadap antimikroba akan menurunkan angka
IRS.
Surveilans
yang baik dapat menyediakan data dasar sebagai data pendukung rumah sakit dalam
upaya memenuhi standar pelayanan rumah sakit.
Ad. 7. Salah satu unsur pendukung untuk memenuhi akreditasi RS
Surveilans
IRS merupakan salah satu unsur untuk memenuh akreditasi RS yaitu Pencegahan dn
Pengendalian Infeksi. Akan tetapi, pengupulan data surveilans hanya untuk
kepentingan akreditasi adalah suatu pemborosan sumber daya yang luar biasa
tanpa memberikan manfaat kepada rumah sakit ataupun tenaga yang ada. Oleh
karena itu surveilans harus dikembalikan kepada tujuan yang sebenarnya yaitu
untuk menurunkan risiko IRS.
10
BAB III
METODE SURVEILANS IRS
Metode-metode surveilans IRS
dapat ditinjau dari beberapa segi.
1. Berdasarkan jenis datanya
Surveilans hasil (outcome surveillance) adalah
surveilans yang memantau laju angka
IRS (misalya ILO, IADP, ISK, pneumonia). Surveilans hasil memberikan gambaran
yang lebih spesifik untuk masing-masing IRS. Surveilans hasil sering memerlukan
dukungan laboratorium mikrobiologi. Selain itu, surveilans hasil hanya cost-effective jika suatu tindakan
invasif sering dilakukan (>100 tindakan yang sama per bulan) dan/atau
berisiko tinggi bagi IRS.
Surveilans proses (process/proxy surveilance) adalah
surveilans yang memantau pelaksanaan
langkah-langkah pencegahan IRS. Pencegahan IRS dikembangkan dalam “bundle” yaitu serangkaian protokol
tetap tindakan klinis. Derajad kepatuhan terhadap setiap komponen “bundle” tersebut dapat mencerminkan
besrnya risiko IRS. Semakin banyak protokol tetap yang dilakukan dengan baik,
dapat diharapkan semakin rendah risiko IRS. Surveilans proses dapat dilakukan
meskipun tidak tersedia fasilitas laboratorium mikrobiologi. Selain itu,
surveilans proses dapat diterapkan untuk tindakan yang jarang dilakukan (<
100 tindakan yang sama per bulan, misalnya laparatomi eksploratif) dan tindakan
yang berisiko rendah bagi IRS (misalnya ILO pada appendectomi).
2. Berdasarkan cakupannya
Surveilans komprehensif (hospital-wide/traditional surveilance) adalah
surveilans yang dilakukan di semua
area perawatan untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami infeksi selama di
rumah sakit. Data dikumpulkan dari catatan medis, catatan keperawatan,
laboratorium dan perawat ruangan. Metode surveilans ini merupakan metode
pertama yang dilakukan oleh CDC pada tahun 1970, namun memerlukan banyak waktu,
tenaga dan biaya.
Surveilanes target (targetted/sentinel surveilance) adalah
surveilans yang terfokus pada
ruangan, kelompok pasien, atau tindakan dengan risiko infeksi spesifik.
Contoh-contohnya meliputi surveilans diruang perawatan intensif (ICU),
surveilans pada pasien dengan kateter vena sentral, atau surveilans infeksi
luka operasi. Surveilans target akan memberikan hasil yang lebih tajam dan
memerlukan sumber daya yang lebih sedikit.
11
3. Berdasarkan waktu
Surveilans periodik adalah
surveilans yang dilakukan secara rutin dengan selang waktu tertentu, misalnya satu bulan dalam tiap semester.
Surveilans periodik bisa dilakukan secara berpindah-pindah, misalnya pda satu
atau beberapa unit dalam periode tertentu kemudian pindah ke unit lain.
Surveilans prevalensi (prevalence surveillance) adalah
surveilans yang menghitung jumlah
semua IRS baik kasus lama maupun baru, pada hari tertentu. Karena mencakup
kasus lama dan baru, hasil surveilans prevalensi akan lebih tinggi dari laju
insidens. Surveilans prevalensi dapat digunakan untuk tujuan khusus seperti
untuk memperoleh prevalensi infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA) atau Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE)
4. Berdasarkan Jenis Rawat
Surveilans selama perawatan adalah
surveilans yang dilakukan selama pasien menjalani
rawat inap saja. Surveilans selama perawatan lebih mudah dilakukan, tetapi
hanya mencerminkan IRS yang timbul dalam waktu relatif singkat.
Surveilans paska rawat (post-discharge surveillance) adalah
surveilans yang dilakukan sesudah
pasien keluar dari rumah sakit. Surveilans paska rawat dapat mendeteksi IRS
yang tidak langsung timbul, seperti ILO yang bisa timbul 30 hari (tanpa
implant) samai 1 tahun sesudah operasi (dengan implant). Surveilans paska rawat
memerlukan follow-up yang ketat dari
pasien baik melalui pemeriksaan langsung waktu pasien datang kontrol atau
melalui kunjungan ke rumah pasien, atau secara tidak langsung yaitu melalui
kontak telepon atau surat.
Untuk
tersedianya data nasional yang seragam, surveilans yang harus dilaporkan oleh
semua rumah sakit adalah surveilans secara targetted dan surveilans paska rawat.
12
BAB IV
DEFINISI KASUS
Infeksi
Rumah Sakit (IRS) atau dalam arti yang luas disebut sebagai Hospital Associated Infection (HAIs), merupakan jenis infeksi yang berhubungan erat
dengan proses perawatan pasien. Jadi
target yang diselidiki dalam hal ini terutama adalah pasien-pasien yang sedang
mengalami perawatan. Dengan demikian semakin lama perawatan risiko terjadinya
IRS juga akan semakin meningkat. Begitu juga semakin banyak tindakan perawatan
yang bersifat invasif akan meningkatkan terjadinya IRS. Dengan alasan ini,
risiko terjadinya IRS akan semakin meningkat pada pusat-pusat perawatan atau
rumah sakit yang besar akan semakin ditingkatkan sehubungan dengan jenis pasien
yang harus ditangani dan macam tindakan yang harus dilakukan.
IRS
merupakan infeksi yang terjadi saat perawatan. Untuk menentukan apakah suatu
infeksi termasuk IRS atau bukan, perlu bukti-ukti yang kuat untuk membuktikan
bahwa infeksi tersebut memang belum ada dan juga tidak pada waktu inkubasi saat
pasien dirawat.
Penyakit
infeksi merupakan jenis penyakit yang tidak terjadi secara spontan, tetapi
memerlukan proses yang disebut sebagai masa inkubasi. Patokan 2-3 hari setelah
perawatan bukanlah patokan yang tetap, karena masa inkubasi dari masing-masing
jenis mikroba penyebab infeksi mempunyai waktu inkubasi yang bervariasi.
Infeksi akut umumnya mempunyai masa inkubasi 2-3 hari, tetapi jenis-jenis
infeksi lain bisa berkisar dari beberapa hari, minggu, bulan atau bahkan tahun
(misalnya Tuberkulosis, HIV, atau Lepra). Untuk itu, sering kali perlu
data-data penunjang, baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau bahkan
laboratorium untuk membuktikan jenis infeksi ini.
Jenis-jenis
IRS sangat banyak, tergantung dari jenis perawatan dan tindakan yang kita
lakukan terhadap pasien (saluran pernafasan, pencernaan, kemih, sistem pembuluh
darah, sistem saraf pusat, dan kulit). Diantara jenis-jenis IRS ada 4 (empat)
jenis yang paling sering terjadi yaitu Infeksi Aliran Darah Primer (IADP),
Infeksi yang berhubungan dengan pemasagan ventilator atau Ventilator Associated Infection (VAP), infeksi akibat pemasangan
kateter urin atau Infeksi Saluran Kemih (ISK), dan akibat tindakan pembedahan
(SSI)
A. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
Infeksi
Aliran Darah Perifer merupakan jenis infeksi yang terjadi akibat masuknya
mikroba melalui peralatan yang kita masukkan langsung ke sistem pembuluh darah.
Dalam istilah CDC disebut sebagai Blood Stream
Infection (BSI)
13
Akses
langsung ke peredaran darah ini dapat berupa kateter vena, maupun arteri yang
kita lakukan terhadap pasien, baik dalam rangka perawatan maupun diagnostik,
yang secara umum disebut sebagai kateter intra vaskuler (Intravascular Chatheter).
Contohnya
adalah pemasangan vena sentral (CVC : Central Venous Chateter), vena perifer
(infus), hemodialisa.
1. Definisi dan Kriteria Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
a. Definisi IADP
Adalah
ditemukannya organisme dari hasil kultur darah semi kuantitatif/ kuantitatif
disertai tanda klinis yang jelas serta tidak ada hubungannya dengan infeksi di
tempat lain dan/atau dokter yang merawat menyatakan telah terjadi infeksi.
Seringkali
Phlebitis dilaporkan sebagai IADP. IADP berbeda dengan Phlebitis (Superficial & Deep Phlebitis).
Perbedaan antara IADP dengan Phlebitis adalah:
1)
Phlebitis, merupakan tanda-tanda peradangan pada daerah
lokal tusukan infus. Tanda-tanda peradangan tersebut adalah merah, bengkak,
terasa seperti terbakar dan sakit bila ditekan
2)
IADP adalah keadaan bakteriemia yang diagnosanya
ditegakkan melalui pemeriksaan kultur
b. Kriteria IADP
Ada
beberapa kriteria untuk menentukan IADP. Kriteria IADP 1 dan 2 dapat digunakan
untuk semua peringkat umur pasien termasuk usia < 1 tahu, minimal ditemukan
satu kriteria seperti tersebut:
1)
Kriteria 1 IADP
•
Ditemukan pathogen pada ≥ 1 kultur darah pasien dan
•
Mikroba dari kultur darah itu tidak berhubungan dengan infeksi di
bagian lain dari tubuh pasien (lihat keterangan 1 &
2)
2)
Kriteria 2 IADP:
•
Pasien menunjukkan minimal satu gejala klinis : demam
(suhu > 38ºC), menggigil atau hipotensi dan
•
Tanda dan gejala klinis sert hasil positif pemeriksaan
laboratorium yang tidak berhubungan dengan infeksi di bagian lain dari tubuh
pasien, dan
•
Hasil kultur yang berasal dari ≥ 2 kultur darah pada
lokasi pengambilan yang berbeda didapatkan mikroba kontaminan kulit yang umum,
misalnya difteroid (Corynebacterium spp). Bacillus spp, (bukan B anthracis)
Propionibacterium spp, Staphylococcus
14
coagulase negatif
termasuk S epidermidis, Streptococcus viridans, Aerococcus spp, Micrococcus
spp, (lihat catatan 3&4)
3)
Kriteria 3 IADP
•
Pasien anak usia ≤ 1 tahun menunjukkan minimal satu
gejala seperti berikut : demam (suhu rektal > 38ºC), hipotermi (suhu rektal
< 37 ºC), apnoe atau bradikardia dan
•
Tanda dan gejala serta hasil pemeriksaan positif
laboratorium yang tidak berhubungan dengan infeksi di bagian lain dari tubuh
pasien dan
•
Hasil kultur yang berasal dari ≥ 2 kultur darah pada
lokasi pengambilan yang berbeda didapatkan mikroba kontaminan kulit yang umum,
misalnya diteroid (Corynebacterium spp), Bacillus spp, (bukan B anthracis)
Propionibacterium spp, Staphylococcus coagulase negatif termasuk S epidermidis,
Streptococcus viridans, Aerococcus spp, Micrococcus spp.
Keterangan :
1.
Dalam kriteria 1, arti “≥” kultur darah pasien adalah
minimal 1 botol kultur dari darah yang diambil memberikan hasil kultur darah
positif.
2.
Dalam kriteria 1 maksud “patogen” adalah mikroba yang
tidak termasuk dalam mikroba kontaminan kulit yang umum didapatkan (lihat
kriteria 2 & 3). Contoh mikroba pathogen yang bukan termasuk flora normal
umum kulit adalah S. Aureus, Enterococcus spp, E coli, Psudomonas spp,
Klebsiella spp, Candida spp, dan lain-lain
3.
Dalam kriteria 2 dan 3 arti ‘≥2’ kultur darah diambil dari lokasi yang
berbeda adalah :
a.
Dari CV line atau kultur ujung kateter CV line dan perifer
b.
Sekurng-kurangnya 2 kali pengambilan darah perifer
dengan jeda waktu tidak lebih dari 2 hari (misalnya pengambilan darah pada hari
Senin dan Selasa, atau Senin dan Rabu, jangan terlalu jauh misalnya Senin
Kamis) atau pada waktu yang bersamaan dari lokasi yang berbeda.
c.
Minimal 1 botol dari darah yang diambil menunjukkan
pertumbuhan kuman kontaminan umum kulit yang sama. (lihat catatan no 4 untuk
melihat kesamaan mikroba)
Contoh kasus :
a.
Pasien dewasa diambil darah jam 8.00 dan kemudian
diambil lagi jam 8.15 pada hari yang sama, masing-masing darah dari tiap
pengambilan diinokulasi ke dalam 2 botol dan di inkubasi (total 4 botol). Bila
1 botol
15
yang berasal
dari tiap set pengambilan darah didapatkan positif Stap coagulase negatif,
kriteria terpenuhi.
b. Neonatus
diambil darah untuk kultur pada Selasa kemudia Sabtu. Ditemukan pertumbuhan
kuman kontaminan kulit. Karena selang waktu pengambilan darah > 2 hari, maka
tidak masuk dalam kriteria
c.
Pada pengambilan darah pasien anak-anak, karena
keterbatasan volume darah, hanya 1 botol kultur darah dapat diambil. Agar
sesuai dengan kriteria ini, maka dilakukan pengambilan dan kultur darah lebih
dari satu kali dan hasil kultur setiap botol harus ≥ 2 didapatkan hasil positif
dengan pertumbuhan kuman kontaminan kulit yang sama.
4.
Beberapa isu yang perlu diperhatikan dalam menentukan
kesamaan mikroba :
a.
Bila kontaminan kulit dari 1 kultur teridentifikasi
sampai tingkat spesien, dan pasangan kultur hanya teridentifikasi dengan nama
sebutannya saja (misalnya nama pada tingkat genus) maka diasumsikan bahwa
mikroba-mikroba tersebut adalah sama.
Spesies mikroba itu harus dilaporkan sebagai patogen penyebab infeksi.
b.
Bila mikroba kontaminan kulit dari kultur telah
diidentifikasi dalam tingkat spesies tetapi belum dilakukan tes antibiogram,
atau telah dilakukan tes antibiogram hanya terhadap 1 isolat, maka diasumsikan
bahwa mikroba-mikroba tersebut adalah sama.
c.
Bila kontaminan kulit dari kultur dengan antibiogram
yang berbeda untuk ≥ 2 antibiotik, maka diasumsikan bahwa mikrobanya adalah berbeda
d.
Untuk kepentingan laporan antibiogram (seperti laporan
ke pusat atau WHO) penafsiran kategori intrmediate TIDAK DIPAKAI untuk
membedakan apakah 2 mikroba itu sama
Tabel 4.1 Contoh “Kesamaan”
spesies mikroba
Kultur
|
Kultur pasangan
|
Dilaporkan
|
sebagai
|
||
S epidermidis
|
Staphylococcus negatif
(CNS) Coagulase
|
S.
|
Epidermidis
|
||
Bacillus spp
|
Bacillus
cereus
|
B. Cereus
|
S. Salivairus
|
Strep
viridans
|
S.
Salivarius
|
16
Tabel 4.2. Contoh “Kesamaan
antibiogram mikroba
Nama mikroba
|
Isolat A
|
Isolat B
|
Diinterprestasikan
|
||
sebagai
|
|||||
S. epidermidis
|
semua obat S
|
semua obat S
|
mikroba yang sama
|
||
S. epidermidis
|
OX R
|
OX S
|
mikroba yang berbeda
|
||
CEFAZ R
|
CEFAZ S
|
||||
Corynebacterium spp Pen G R
|
Pen G S
|
mikroba yang berbeda
|
|||
Cipro S
|
Cipro R
|
||||
Strep viridians
|
Semua obat S
|
semua Obat S
kecuali
|
mikroba yang
sama
|
||
Eryth R
|
|||||
Keterangan:
S : Sensitif R : resisten
Catatan :
a.
Idealnya, darah vena diambil 2-4 kali sisi yang
berbeda (misalnya dari vena antecubital kiri dan kanan) dan TIDAK DIAMBIL DARI
SELANG INFUS. Darah ini diambil secara silmultan atau dalam waktu yang singkat
(misalnya dalam beberapa jam)
b.
Bila di suatu fasilitas tidak memperoleh bahan kultur
dengan cara ini maka masih dapat memberi laporan IADP dengan kriteria dan
catatan seperti diatas, tetapi harus dikerjakan oleh petugas yang terampil
untuk memfasilitais perolehan sampel kultur darah yang lebih baik.
2. CSEP (Clinical SEPSIS) / SEPSIS Klinis
CSEP hanya
dapat dipakai untuk melaporkan IADP pada neonatus dan bayi. Tidak dipakai untuk
pasien dewasa dan anak.
Kriteria CSEP
a.
Pasien berumur ≤1 tahun menunjukkan minimal 1 tanda
atau gejala klinis tanpaditemukan penyebab lain : demam (suhu rektal > 38
ºC, hipotermi (suhu rektal < 37 ºC), apnoe atau bradikardia, dan
b.
Tidak dilakukan kultur darah atau kultur darah negatif, dan
c.
Tidak ditemukan infeksi di tempat lain, dan
d.
Klinisi melakukan terapi sebagai kasus sepsis
3. Faktor Risiko IADP
Risiko IADP
tentunya adalah semua pasien yang dipasang kateter vaskuler. Sedangkan risiko
infeksi dan hasil pemeriksaan tergatung dari :
a.
Lama pemasangan : berapa hari peralatan dipasang
b.
Jenis jalur intravascular (vena sentral, vena perifer,
dialisa, dan sebagainya) yang dipasang.
c.
Lokasi pemasangan : sub clavian, femoral, internal jugular, perifer
17
d.
Teknik pemasangan : keahlian petugas, teknik aseptik,
jenis antiseptik, jenis dan bahan peralatan terpasang (polyethylene,
polyurethane, silikon)
e.
Perawatan : ruang perawatan, perawatan peralatan, frekuensi manipulasi
f.
Kondisi pasien : usia, penyakit yang mendasari
g.
Teknik kultur.
4. Data surveilans IADP
Data-data
utama yang dikumpulkan dalam surveilans IADPadalah data-data yang berhubungan
dengan faktor risiko diatas (misalnya jenis jalur intravaskuler, lokasi
pemasangan kateter intravaskuler, lama pemasangan kateter, dan
manipulasi-manipulasi yang dilakukan saat kateter intravaskuler terpasang), dan
data-data yang diperlukan untuk diagnosa (misalnya keadaan klinis pasien dan
hasil-hasil laboratorium).
Pada
perhitungan laju infeksi IADP yang digunakan sebagai numerator adalah jumlah
penderita yang terinfeksi akibat penggunaan kateter intravaskuler, sedangkan
sebagai denominator adalah jumlah hari penggunaan alat intravaskuler.
5. Petunjuk Pelaporan IADP
Phlebitis
purulen dikonfirmasi dengan hasil positif kultur semikualitatif dari ujung
kateter, tetapi bila hasil kultur negatif atau tidak ada kultur darah maka
dilaporkan sebagai phlebitis, bukan sebagai IADP. Pelaporan mikroba dari hasil
kultur darah sebagai IADP bila tidak ditemukan infeksi lain dari bagian tubuh.
Referensi :
a.
CDC : Morbidity and Mortality Weekly Report,
Recommendations and Reports August 9,2002/Vol. 51/ No. RR-10
b.
CDC.2006. Outline For Healthcare-Associated Infections Surveillance
B. Pneumonia (PNEU)
Pneumonia
merupakan peradangan jaringan atau parenkim paru-paru. Dasar diagnosis
pneumonia dapat berdasarkan 3 (tiga) hal, yaitu gejala klinis, radiologis dan
laboratorium,
Ada
2 (dua) jenis Penumonia yang berhubungan dengan IRS, yaitu Pneumonia yang
didapatkan akibat perawatan yang lama atau sering dicebut sebagai Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dan
Pneumonia yang terjadi akibat pemakaian
ventilasi mekanik atau sering sebagai ventilator
Associated Pneumonia (VAP).
18
1. Definisi dan Kriteria HAP dan VAP
a. Definisi HAP
HAP
adalah infeksi saluran napas bawah yang mengenai parenkim paru setelah pasien
dirawat di rumah sakit > 48 jam tanpa dilakukan intubasi dan sebelumnya
tidak menderita infeksi saluran napas bawah. HAP dapat diakibatkan tirah baring
lama (koma/tidak sadar, trakeostoi, refluk gaster, Endotracheal Tube/ETT)
b. Definisi VAP
VAP
adalah infeksi saluran napas bawah yang mengenai parenkim paru setelah
pemakaian ventilasi mekanik > 48 jam dan sebelumnya tidak ditemukan
tanda-tanda infeksi saluran napas
2. Dasar Diagnosis Pneumonia
Pneumonia
(PNEU) ditentukan berdasarkan kriteria klinis, radiologi, dan laboratorium.
(Lihat Gambar 4.2. Diagram Alur Peneumonia dan Gambar 4.3 Diagram Alur Kriteria
Pneumonia pada Bayi dan Anak).
a. Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia
Bukti klinis
Pneumonia adalah bila ditemukan minimal 1 (satu)dari tanda dan gejala berikut :
1)
Demam (≥38ºC) tanpa ditemui penyebab lainnya
2)
Leukopenia (,4.000 WBC/mm3) atau
Leukositosis (≥12.000 SDP/mm2)
3)
Untuk penderita
berumur ≥ 70 tahun, adanya perubahan status
mental yang tidak ditemui
penyebab lainnya.
dan minimal disertai 2 tanda
berikut :
1)
Timbulnya onset baru sputum purulen atau perubahan sifat sputum
2)
Munculnya tanda dan terjadinya batuk yang memburuk atau
dyspneu (sesak napas) atau tachypnea (napas frekuen)
3)
Rhonchi basah atau suara napas bronchial
4)
Memburuknya pertukaran gas, misalnya desaturasi O2
(PaO2/FiO2≤240), peningkatan kebutuhan oksige, atau perlunya penngkatan
ventilator
Keterangan :
1)
Sputum purulen adalah sekresi yang berasal paru-paru ,
bronchus atau trachea yang mengandung ≥25 netrofil dan ≤10 sel epitel
squamus/lapangan mikroskop kekuatan rendah (x100) atau LPK
19
2)
Perubahan sifat sputum dapat dilihat dari warna,
konsistensi, bau, dan jumlah
3)
Data ulangan tentang sputum purulen atau perubahan
sifat sputum yang terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam, lebih mempunyai arti
untuk menunjukkan adanya onset proses infeksi dibandingkan data sputum tunggal
4)
Tachypnea adalah peningkatan frekuensi napas/menit
(RR) yang pada orang dewasa > 25, bayi prematur umur kandungan kurang dari
37 minggu > 75, bayi aterm (umur kehamilan 40) > 60, anak < 2 bulan
> 50, anak berumur 2 – 12 bulan > 30
b. Tanda Radiologis Pneumonia
Bukti adanya
Pneumonia secara Radiologis adalah bila ditemukan ≥ 2 foto serial didapatkan
minimal 1 tanda berikut:
1)
Infiltrat baru atau progresif yang menetap
2)
Konsolidasi
3)
Kavitasi
4)
Pneumatoceles pada bayi berumur ≤ 1 tahun
Catatan :
Pada
pasien yang tanpa penyakit paru-paru atau jantung (respiratory distress
syndrome, bronchopulmonary dysplasia, pulmonary edema, atau chronic obstruktive
pulmonary disease) yang mendasari, 1 bukti radilogis foto thorax sudah dapat
diterima
c. Kriteria Pneumonia
Ada 3 (tiga) tipe spesifik
pneuonia
1)
Peneumonia klinis (PNU 1)
2)
Pneumonia dengan gambaran laboratorium spesifik (PNU 2)
3)
Pneumonia pada pasien imunokompromis (PNU 3)
Gambar
4.2 dan 4.3 merupakan diagram alur untuk algoritme pneumonia yang dapat
digunakandalam sebagai pegumpulan data.
1)
Kriteria PNU
1 : Pneumonia Klinis
Dapat
diidentifikasi sebagai PNU 1 bila didapatkan salah satu kriteria berikut :
a) Kriteria PNU 1 : untuk semua umur
•
Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia (B.3.a.)
•
Tanda Radiologis Pneumonia (B.3.b.)
20
b) Kriteria PNU 1 – 2 : untuk bayi berumur ≤ 1 tahun
•
Buruknya pertukaran gas
dan
minimal disertai 3 dari tanda berikut :
•
Suhu yang tidak stabil, yang tidak ditemukan penyebab
lainnya
•
Lekopeni (< 4.000/mm) atau lekositosis ( ≥
15.000/mm3) dan gambaran darah tepi terlihat pergeseran ke kiri (≥ 10 % bentuk
netrofil bentuk batang)
•
Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan
karakter sputum atau adanya peningkatan sekresi pernapasan atau peningkatan
keperluan pengisapan (suctioning)
•
Apnea, tachypnea, atau pernapasan cuping hidung dengan
retraksi dinding dada
•
Ronchi basah kasar maupun halus
•
Batuk
•
Bradycardia (< dari 100 x/menit) atau tachycardia
(> 170 x/menit)
c)
Kriteria PNU
1-3 : untuk anak berumur lebih dari > 1 tahun atau berumur ≤ 12 tahun, minimal ditemukan
3 dari tanda berikut :
•
Demam (suhu > 38,4 ºC) atau hypotermi (<36,5 ºC)
yang tidak ditemukan penyebab lainnya
•
Lekopeni (< 4.000/mm) atau lekositosis ( ≥ 15.000/mm3)
•
Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan
karakter sputum atau adanya peningkatan sekresi pernapasan atau peningkatan
keperluan pengisapan (suctioning)
•
Onset baru dari dari memburuknya batuk, apnea, tachypneu
•
Wheezing, ronchi basah kasar maupun halus
•
Memburuknya pertukaran gas, misalnya PO2 < 94
2) Kriteria PNU 2 -1 :
Pneumonia dengan hasil Laboratorium
yang spesifik untuk infeksi bakteri dan jamur berfilamen
a)
Kriteria PNU 2 -1 :
Dapat
diidentifikasi sebagai PNU 2 – 1, bila ditemukan bukti-bukti berikut :
•
Tanda dan gejala klinis Pneumonia (B.3.a)
•
Tanda Radiologis Pneumonia (B.3.b)
21
• Minimal 1 dari tanda
laboratorium berikut :
− Kultur
positif dari darah yanga tidak ada hubungannya dengan sumber infeksi lain
− Kultur positif dari cairan
pleura
− Kultur kuantitatif
positif dari spesimen Saluran Napas Bawah (BAL atau sikatan bronkus terlindung)
− ≥ 5 % sel
yang didapat darai BAL mengandung bakteri intraseluler pada pemeriksaan
mikroskopik langsung
− Pemeriksaan
histopatologik menunjukkan 1 (satu) dari bukti berikut :
•
Pembentukan abses atau fokus konsolidasi dengan
sebutkan PMN yang banyak pada bronchiolus dan alveoli
•
Kultur kuantitatif dari parenkim paru-paru
•
Bukti adanya invasi oleh hifa jamur atau pseudohifa
pada parenkim paru-paru
Keterangan
− SNB : Saluran Napas Bawah
(=LRT : Lower respiratory tract)
− Interpretasi
hasil kultur darah positif harus hati-hati. Bakteriemia dapat terjadi pada
pasien yang terpasang jalur intravaskuler atau kateter urine menetap. Pada
pasien immunocompomised, sering
didapatkan bakteriemia CNS atau flora
normal atau kontaminan umum kulit yang lain serta sel yeast
− Nilai ambang
untuk kultur kuantitatif dapat dilihat pada tabel 4.3
− Pada
pemeriksaan kultur kuantittif, spesimen yang dipilih adalah spesimen yang
terkontaminasi minimal, misalnya yang dari BAL atau sikatan bronkhus
terlindung. Spesimen dari aspirsi endotrachea tidak dapat digunakan untuk dasar
kriteria diagnostik
− BAL : Broncho alveolar
lavage
b) Kriteria PNU2-2 :
Pneumonia dengan hasil Laboratorium
yang spesifik untuk infeksi virus, Legionella, Chlamydia, Mycoplasma, dan
patogen tidak umum lainnnya:
Dapat
diidentifikasi sebagai PNU2-2, bila ditemukan bukti-bukti berikut :
• Tanda dan gejala klinis
Pneumonia (B.3.a)
22
•
Tanda Radilogis Pneumonia (B.3.b)
•
Minimal 1 (satu) dari tanda labortorium berikut:
− Kultur
positif untuk virus atau Chlamydia dari sekresi pernapasan
− Deteksi
antigen atau antibody virus positif dari sekresi pernapasan
− Didapatkan
peningkatan titer 4x atau lebih IgG dari paried sera terhadap patogen (misalnya
influenza virus, Chlamydia)
− PCR positif untuk Chlamydia
atau Mycoplasma
− Tes micro-IF positif untuk
Chlamydia
− Kultur
positif atau visualisasi micro-IF untuk Legionella spp, dari sekresi pernapasan
dan jaringan
− Terdeteksinya
antigen Legionella pneumophila serogrup I dari urine dengan pemeriksaan RIA
atau EIA
− Pada
pemeriksaan indirek IFA didapatkan peningkatan titer 4x atau lebih antibody
dari paired sera terhadap Legionella pneumophila serogrup I dengan titer ≥ 1 :
128
Keterangan :
− Deteksi
langsung patogen dapat menggunakan berbagai teknik deteksi antigen (EIA, RIA,
FAMA, micro-IF) PCR atau kultur
•
PCR : Polymerase Chain Reaction, merupakan teknik
diagnostik dengan cara memperbanyak asam nukleat patogen secara in-vitro
•
Paired sera adalah pasangan sera yang diambil pada
fase akut atau fase penyembuhan penyakit. Pada penyakit yang sedang berlangsung
(progresif) akan didapatkan peningkatan titer sera pada fase penyembuhan
sebesar ≥ 4x dibandingkan dengan titer sera pada fase akut.
•
Bila terkonfirmapneumona disebabkan oleh RSV,
adenovirus atau influenza virus, dugaan infeksi oleh patogen yang sama segera
dapat dilakukan terhadap pasien-pasien yang dirawat mempunyai kemiripan gejala
dan tanda klinis.
c)
Kriteria PNU 3 :
Pneumonia Pada Pasien
Immunocompromised
23
Dapat
diidentifikasi sebagai PNU 3 bila ditemukan bukti-bukti berikut :
•
Tanda dan gejala klinis pneumonia ditambah dengan
kemungkinan gejala dan tanda :
− Hemoptysis
− Nyeri dada pleuritik
•
Tanda Radiologis Pneumonia
•
Minimal 1 dari tanda laboratorium berikut :
− Kultur
pasangan positif dan cocok dari kutur darah dan sputum terhadap Candida spp
− Bukti adanya
jamur atau pneumocystis carinii dari spesimen terkontaminasi minimal SBL (BAL
atau sikatan bronchus terlindung) dari 1 cara berikut :
•
Pemeriksaan mikroskopik langsung
•
Kultur jamur positif
− Apapun yang
masuk dalam kriteria laboratoium untuk PNU 2
Keterangan :
Yang
tergolong dalam pasien immunocompromised antara lain :
•
Penderita neutropenia (hitung netrofil absolute <
500/mm3), leukemia, lymphomma, HIV, dengan CD4 < 200 atau
•
Splenectomy, post tansplantasi, kemoterapi cytotoxic atau
•
Pengobatan steroid dosis tinggi : > 40 mg
prednisolone atau ekivalennya (hidrokortison 160 mg, metal-prednisolon 32 mg,
dexamethason 6 mg, kortison 200 mg ) / hari untuk > 2 minggu
•
Spesimen darh dan sputum diambil pada waktu yang
berdekatan (48 jam)
•
Spesimen kultur semikuantitatif atau kualitatif sputum
dapat diambil dengan batuk dalam, induksi, aspirasi atau bilasan. Bila kultur
kuantitatif dimugkinkan, kriteria sesuai algoritma.
d)
Faktor
Risiko Pneumonia Pneumonia dapat berasal dari:
-
faktor lingkungan ayang terkontaminasi, misalnya air,
udara atau makanan (muntah)
27
-
Peralatan yang digunakan dalam perawatan pasien:
Endotracheal Tube (ETT), Nasogastric Tube (NGT), Suction catheter,
Bronchoscopy, Respiratory devices.
-
Orang ke orang: dokter, perawat, pengunjung, maupun
dari flora endogen pasien itu sendiri.
Faktor Risiko untuk
terjadinya Pneumonia antara lain:
-
Kondisi pasien: umur (>70 tahun), Penyakit kronis,
Pembedahan (Toraks atau Abdomen), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK),
Penyakit Jantung Kongestif, Cardiac Vascular Disease (CVO), Kkma, perokok berat
-
Tindakan pengobatan atau perawatan: sedatif, anestesi
umum, intubasi trakeal, trakeostomi, pemakaian ventilasi mekanik yang lama,
pemberian makanan enteral, terapi antibiotik, obat immunosupresif atau
sitostatik
Populasi
berisiko untuk terjadinya pneumonia IRS dibedakan berdasarkan jenis
pneumonianya.
-
Populasi berisiko VAP adalah semua pasien yang
terpasang ventilasi mekanik sehingga kejadiannya terutama terfokus pada pada
area spesifik yaitu ICU, NICU/PICU, HCU. Sehingga yang digunakan sebagai
numerator dalam menghitung laju infeksi adalah jumlah kasus VAP per periode
tertentu (1 bulan, 6 bulan, 1 tahun), sedangkan denominatornya adalah jumlah
hari pemasangan alat ventilasi mekanik periode waktu tertentu.
-
Populasi berisiko HAP adalah pasien tirah baring lama
yang dirawat di rumah sakit, sehingga yang digunakan sebagai numerator adalah
jumlah kasus HAP per periode tertentu (1 bulan, 6 bulan, 1 tahun), sedangkan
denominatornya adalah jumlah hari rawat pasien tirah baring per periode
tertentu (1 bulan, 6 bulan, 1 tahun).
e) Data Surveilans Pneumonia
Data-data
utama yang dikumpulkan dalam surveilans Pneumonia perlu diperhatikan, apakah
data tersebut mendukung ke arph terjadinya HAP atau VAP.Data yang dikumpulkan
adalah data yang berhUbungan dengan faktor risiko maupun data-data yang diperlukan
untuk diagnosis yang memerlukan aspek klinis, radiologis dan
laboratoris.Pnemonia merupakan jenis infeksi yang sulit untuk rnendapatkan
28
diagnosis
etiologisnya, sehingga perlu hati-hati dalam menginterpretasikan laboratorium.
f)
Petunjuk
Pelaporan dan Ketentuan-Ketentuan Umum Pneumonia
-
Hospital Acquired Pneumonia (HAP) tidak dapat
ditegakkan berdasar diagnosis dari dokter semata.
-
Meskipun kriteria spesifik dimasukkan untuk bayi dan
anak, pasien pediatri mungkin memenuhi kriteria pneumonia spesifik lainnya.
-
Pneumonia terkait ventilator (VAP, yaitu pneumonia
pada pasien yang menggunakan alat untuk membantu napes atau mengontrol
pernapasan secara terus menerus melaiui trakeostomi atau intubasi endotrakeal
dalamjangka waktu 48 jam sebelum terjadi infeksi, termasuk periode penyapihan)
harus disertakan pada waktu pelaporan data.
-
Pada waktu melakukan asesmen untuk menetapkan
pneumonia, panting dibedakan perubahan keadaan klinis yang disebabkan keadaan
lain seperti infark miokard, emboli paru, sindrom gawat napas, atelektasis,
keganasan,
PPOK,
penyakit membran hialin, dispalasia bronkopulmoner, dll. Pada waktu melakukan
asesmen pasien-pasien yang diintubasi, juga perlu dibedakan antara kolonisasi
trakea, infeksi saluran napas atas (misalnya trakeobronkitis) dan gejala awal
pneumonia. Perlu disadari bahwa mungkin sulit untuk menentukan HAP pada orang
tua, bayi dan pasien iinunokompromis karena keadaan seperti itu dapat menutupi
tanda-tanda atau gejala tipikal pneumonia. Kriteria spesifik pilihan untuk orang
tua, bayi dan pasien irnunokompromis telah dimasukkan dalam definisi HAP ini.
-
HAP dapat ditandai dari onsetnya: awal atau lambat.
Pneumonia onset awal timbul dalam 4 hari pertarna perawatan dan sering
disebabkan oleh Moraxella catarrhalis, H influenzae, dan S pneumoniae. Penyebab
pneumonia late onset sering berupa kuman gram negatif atau S aureus, termasuk
methicillin-resistant S aureus (MRSA). Virus (misalnya influenza A dan B atau
RSV) dapat menyebabkan early dan late onset pneumonia nosokomial, sedangkan
kapang, jamur, legionellae, dan Pneumocystis
29
carinii
umumnya merupakan patogen late onset pneumonia.
-
Pnemonia yang disebabkan aspirasi hebat (misalnya pada
waktu intubasi di ruang darurat atau di kamar operasi) dianggap HAP jika
memenuhi kriteria spesifik manapun dan jelas tidak didapati atau sedang dalam
masa inkubasi pada saat pasien masuk rumah sakit.
-
HAP berulang dapat terjadi pada pasien-pasien yang
sakit berat dan tinggal di rurnah sakit untuk waktu yang lama. Pada waktu
menetapkan apakah untuk melaporkan HAP berulang pada seorang pasien, perlu
dicari bukti-bukti bahwa infeksi awal telah mengalami resolusi. Penambahan atau
perubahan patogen saja bukan indikasi ep.ipode baru pneumonia. Diperlukan
kombinasi gejala dan tanda sera bukti radioiogis atau uji diagnostik lain.
-
Pewarnaan Gram positif untuk bakteri dan tes KOH untuk
serat elastin dan/atau hypha jamur dari sputum yang dikumpulkan dengan cara
yang benar merupakan kunci panting dalam menemukan penyebab infeksi. Namtrn
sampel dahak sering terkontaminasi oleh kuman yang mengkoloni saluran napas
sehingga perlu diinterpretasi dengan hati-hati. Secara khusus, candida sering
diternukan pada pewarnaan, tatapi tidak sering menyebabkan HAP.
C. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi
Saluran Kemih (ISK) dalam istilah CDC disebut sebagai Urinary TractInfection (UT/),
merupakan jenis infeksi yang terjadi pada saluran kemih mumi (urethra dan permukaan kandung kemih) atau melibatkan bagian
yang Iebih dalam dari organ-organ pendukung saluran kemih (ginjal, ureter,
kandung kemih, uretra dan jaringan sekitar retroperitonial atau rongga
perinefrik).
Untuk itu, dalam menentukan
jenis ISK, perIu pengelompokan sabagai berikut
1.
infeksi Saluran Kemih Simptomatis
2.
infeksi Saluran Kemih Asimptomatis
3.
infeksi Saluran Kemih lainnya
1.
Tanda dan
gejala klinis ISK a. Tanda dan gejala ISK:
1)
Demam (> 38°C )
2)
Urgensi
3)
Frekuensi
4)
Disuria, atau
30
5)
Nyeri Supra Pubik
b. Tanda dan gejala ISK anak
tahun:
1)
Demam > 38 CC rektal
2)
Hipotermi < 37 °C rektal
3)
Apnea
4)
Bradikardia
5)
Letargia
6)
Muntahmuntah
2. Tes Konfirmasi ISK
Tes konfirmasi merupakan
tes-tes yang membantu memastikan adanya ISK.
1)
Tes konfirmasi mayor merupakan pemeriksaan kultur
kuantitatif yang menghasigkan jumlah koloni yang sedikit kernurigkinan terjadi
akibat kontaminasi
2)
Tes konfirmasi minor merupakan pemeriksaan alau bukt:
ISK ,dengan keakuratan yang kurang sebagai tanda adanya ISK.
3)
Tes komfirmasi minor dapat berupa: tes-tes kultur
kuantitatif dengan jumlah koloni yang meragukan adanya infeksi, pemeriksaan
urine untuk melihat adanya kemungkinan ISK tanpa melakukan kultur, dan
diagnosis dokter yang merawat.
Tes konfirmasi ISK mayor:
Hasil biakan
urin aliran tengah (midstream) >105 kuman per
ml urin dengan jumlah kuman tidak lebih dari 2 (dua) spesies.
Tes Konfirmasi ISK minor
1)
Tes carik celup (dipstick)
positif untuk lekosit esterase dan/atau nitric.
2)
Piuri (terdapat >10 lekosit per ml atau terdapat>3
lekosit p (7 LPB(mikroskop kekutan tinggi/1000x) dan urin tanpa dilakukan
sentrifugasi).
3)
Ditemukan kuman dengan pewarnaan Gram dari urin yang
tidak disentrifugasi.
4)
Paling sedikit 2 kultur urin ulangan didapatkan
uropatogen yang sama (bakteri gram negatif atau S. saprophyticus) dengan jumlah
102 kononi per ml dari urin yang tidak dikemihkan (kateter atau aspirasi
suprapubik).
5)
Kultur ditemukan 5105 koloni/m1 kurnan patogen tunggal
(bakteri gram negatif atau S.saprophyticus) pada pasien yang dalam pengobatan
anisimikroba efektif untuk ISK.
31
6)
Dokter mendiagnosis sebagai 1SK.
7)
Dokter memberikan terapi yang sesuai untuk ISK.
3. Kriteria ISK :
a.
ISK
Simptomatis harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini :
1)
Kriteria 1 ISK simtornatis.
a)
Ditemukan paling sedikit satu simtom ISK (2.a.), dan
b)
Tes konfirmasi mayor positif (3.a)
2)
Kriteria 2 ISK simtomatis.
a)
Ditemukan paling sedikit dua simtom ISK (2.a.), dan
b)
Satu tes konfirmasi minor positif (3.b)
3)
|
Kriteria
3 ISK simtomatis
|
anak usia
|
tahun.
|
|||
a) Ditemukan paling sedikit satu tanda ISK
(2.b.), dan
|
||||||
b) Tes konfirmasi mayor positif (3.a)
|
||||||
4)
|
Kriteria 2 ISK simtomatis
anak usia ..s7 1 tahun.
|
|||||
a) Ditemukan paling sedikit dua simtorn ISK anak usia
|
tahun
|
SK
|
||||
(2.b.),dan
|
b)
Satu Tes konfirmasi minor posit': (3.b)
b. 1SK Asimptomatik
ISK asimptomatik harus
memenuhi paling sedikit Atu kriteria berikut :
1) Kriteria 1 ISK Asimptomatik:
a)
Pasien pernah memakai kateter urine dalam waktu 7 hari
sebelum biakan urine, dan
b)
Tes konfirmasi mayor ISK positif, dan
c)
Simtom ISK negatif.
2) Kriteria 2 1SK Asimptomatik:
a)
Pasien tanpa kateter urine menetap dalam 7 hari sebelum
biakan pertama positif, dan
b)
Tes konfirmasi mayor positif dari hasil kultur urine
yang dilakukan 2x berturut-turut, dan
c)
Simtom ISK negatif.
a.
Kultur positif dart ujung kateter tidak dapat digunakan
untuk tes diagnostik ISK
b.
Kuitur positif dari urin yang diambil dari kantong
pengumpul urin tidak dapat digunakan untuk tes diagnostik ISK.
c.
Spesimen untuk kultur urin harus didapatkan sengan
tehnik yang benar, misainya clean catch collection untuk spesimen win pancar
tengah, atau kateterisasi.
32
d.
Pada bayi, spesimen diambil dengan card kateterisasi
kandung kemih atau aspirasi supra pubik.
3) Infeksi Saluran Kemih yang lain (Ginjal. Ureter,
Kandung Kemih, Uretra dan jaringan sekitar retroperitonial atau rongga
perinefrik) Harus mernenuhi sekurang-kurangnya satu kriteria terkait
organ diatas sebagai berikut :
a)
Kriteria I ISK Lain:
Ditemukan
kuitur kuman yang positif dari cairan (selain urin) atau jaringan terinfeksi.
b)
Kriteria 2 ISK Lain:
Ditemukan
abses atau tanda infeksi lain yang diternukan balk pada pemeriksaan langsung,
selama pembedahan atau dengan pemeriksaan histopatologis.
c)
Kriteria 3 ISK lain:
c.1)
Ditemukan paling sedikit dua dari tanda atau gejala sebagai berikut :
− Demam ( > 38 °C )
− Nyeri local
− Nyeri tekan
pada daerah yang dicurigai terinfeksi, dan c.2) sekurang-kurang terdapat paling
sedikit satu hal berikut
− Drainase pus dari tempat
yang dicurigai terinfeksi.
− Kuman yang
tumbuh pada kultur darah sesuai dengan kuman dari tempat yang diduga infeksi
− Terdapat
bukti adanya infeksi pada pemeriksaan radiologi (USG, CT Scan, MRI, Radiolabel
Scan).
− Diagnosis infeksi oleh
dokter yang menangani.
− Dokter yang
menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai untuk jenis infeksinya.
c.3) Kriteria 4.15K lain
pasien berumur <1 tahun:
Pada
didapatkan paling sedikit satu tanda atau gejala berikut tanpa penyebab lain :
− Demam >38°C rektal
− Hipotermi <37°C rektal
− Apnea
− Bradikardia
− Letargia
− Muntah-muntah, dan
33
sekurang-kurang terdapat
paling sedikit satu hal berikut :
− Drainase pus dari tempat
yang dicurigai terinfeksi.
− Kuman yang
tumbuh pada kultur darah sesuai dengan kuman dari tempat yang diduga infeksi.
− Terdapat
bukti adanya infeksi pada pemeriksaan radiologi (USG, CT Scan, MR1, Radiolabel
Scan).
− Diagnosis infeksi oieh
dokter yang menangani.
− Dokter yang
menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai.
c. Faktor risiko ISK
Faktor
risiko untuk terjadinya ISK adaiah penderita yang terpasang kateter, sedang
faktor-faktor lain berkaitan dengan:
1)
Kondisi pasien (faktor intrisik): komorbiditas penderita
(misalnya DM), penurunan Jaya tahan tubuh (misalnya malnutrisi), kondisi
organik (misalnya: ostruksi, disfungsi kandung kemih, refiuks).
2)
Prosedur pemasangan: teknik pemasangan, ukuran kateter.
3)
Perawatan: Perawatan meatus urethra, jalur kateter, pengosongan
kantong urin, manipulasi (pengambilan sampel urin).
d. Data surveilans ISK
Populasi
utama surveilans ISK adaiah penderita yang terpasang katetermenetap. Data-data
lain adaiah data-data yang berhubungan dengan factor risiko, data-data
diagnostik dan lama pomasangan
34
kateter,
yang nanti akan dijadikan denominator dalam perhitungan laju infeksi.
D. Infeksi Luka Operasi (ILO)
ILO dalam istilah CDC disebUt
sebagai Surgical Site Infection
(SSI).
Ada
beberapa stadium dalam operasi, sehingga penilaian ada tidaknya ILO juga
dikelompokkan berdasarkan seberapa jauh organ atau jaringan yang dioperasi,
sehingga dikenaHstilah:
1.
ILO Superfisial: bila insisi hanya pada kulit dan
jaringan bawah kulit (subkutan)
2.
ILO Profunda: bila insisi mengenai jaringan lunak yang
lebih dalam (f.scia dan lapisan otot)
3.
ILO Organ/Rongga tubuh: bila insisi dilakukan pada
organ atau mencapai rongga dalam tubuh.
1.
Kriteria ILO
a. Kriteria ILO
Superfisial (Superficial incisional SS/):
1)
Infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setetah
tindakan operasi dan
2)
Mengenai hanya pada kulit dan jaringan bawah kulit
(subkutan) pada tempat insisi dan
3)
Pasien sekurang-kurangnya mempunyai/memenuhi salah satu
keadaan dibawah ini:
a)
Drainase bahan purulen dari insisi superficial.
35
b)
D'apat diisolasi kuman penyebab dari biakan cairan atau
jaringan yang diambil secara aseptik dari tempat insisi superficial.
c)
Sekurang-kurangnya terdapat:
− satu tanda
atau gejala infeksi sebagai berikut : rasa nyeri, pembengkakan yang
terlokalisir, kemerahan, atau hangat pada
perabaan, dan
− insisi
superficial terpaksa harus dibuka oleh dr bedah dan hash biakan positif atau
tidak dilakukan biakan. Hasil biakan yang negatif tidak memenuhi kriteria ini.
4)
Diagnosis ILO superfisial oleh dokter bedah atau dokter
yang menangani pasien tersebut.
Terdapat 2 (dua) tipe
spesifik ILO superficial, yaitu :
1)
Superficial incisional primary (SIP) :
Infeksi"terjadi
pada tempat insisi primer pada pasien yang telah menjalani tindakan operasi
melalui satu atau lebfh insisi (contoh insisi pada operasi Cesar atau insisi
pada dada dalam operasi bypass arteri coroner).
2)
Superficial incisional secondary (SIS)
infeksi
terjadi pada tempat insisi sekunder pada pasien yang menjalani tindakan melalui
lebih dari satu insisi (contoh insisi pada donor [biasanya pada kaki] untuk
CBGB).
CBGB: Coronary bypass with
chest and donor incisions
Petunjuk pencatatan/pelaporan ILO Superfisial:
1)
Jangan melaporkan "stitch abscess" (inflamasi
minimal dan adanya keluar cairan [discharge] pada tempat penetrasi/tusukan
jarum atau tempat jahitan) sebagai suatu infeksi
2)
Jangan melaporkan infeksi luka yang terlokalisiti
("localized stab wound infection") sebagai ILO, sebaiknya dilaporkan
sebagai infeksi kulit (SKIN) atau infeksi jaringan lunak (ST) tergantung dari
kedalamannya infeksi. Laporkan infeksi pada tindakan sirkumsisi pada bayi baru
lahir sebagai CIRC. Sirkumsisi tidak terrnasuk kedalam prosedur operasi pada
NHSN Laporkan infeksi pada luka bakar sebagai BURN.
3)
Bila infeksi pada tempat insisi mengenai atau melanjut
sampai ke fascia dan jaringan otot, laporkan sebagai ILO profunda ("deep
incisional SSI"). Apabila infeksi memenuhi kriteria sebagai ILO
superficial dan ILO «profunda klasifikasikan sebagai ILO profunda.
36
b. Kriteria ILO Profunda (Deep incisional SSI):
1)
lnfeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah
tindakan operasi tanpa pemasangan implant atau dalam waktu 1 tahun bila operasi
dengan pemasangan implant dan infeksi diduga ada kaitannya dengan prosedur
operasi dan
2)
Mengenai jaringan lunak yang lebih dalam (fascia dan
lapisan otot) pada tempat insisi dan
3)
Pasien sekurang-kurangnya mempunyai / mernenuhi salah
satu keadaan dibawah ini :
a)
Drainase purulen dari jaringan iunak dalam tetapi bukan
dari organ atau rongga dalam pada tempat operas'.
b)
Tempat insisi dalam mengalami "dehiscernent"
secara spoman tau terpaksa dibuka oleh dokter bedah dan hasil biakan positf
atau tidak
dilakukanbiakan kuman apabila pasien mempunyai sekurang-kurangnya satu tanda
atau gejala sebagai berikut: febris (> 38 C), atau nyeri yang terlokalisir.
Hasil biakan yang negatif tidak termasuk dalam kriteria ini.
c)
Abscess atau adanya bukti lain terjadinya infeksi yang
mengenai insisi dalam yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan langsung, selama
re-operas', atau berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi (PA) atau
radiologi.
d)
Diagnosis ILO profunda oleh dokter bedah atau dokter
yang menangani pasien tersebut.
Keterangan
Yang
dimaksud dengan implant adalah setiap benda. bahan atat, jaringan yang berasal
bukan dari manusia (seperti katup jantung prostesa, cangkok pembuluh darah yang
bukan berasal dari manusia, jantung buatan (mekanik), atau prostesa tuiang
panggul) yang ditempatkan pada tubuh pasien secara permanen dalam suatu
tindakan operasi Can tidak dimanipulasi secara rutin baik untuk kepentingan
diagnostik maupun untuk keperluan terapi.
Terdapat 2 tipe spesifik ILO profunda, yaitu :
1)
Deep Incisional Primary (DIP) :
infeksi
terjadi pEada tempat insisi primer pada pasien yang telah menjalani tindakan
operas' melalui satu atau 'ebb insisi (contch insisi pada operasi Cesar atau
insisi pada dada dalam operas' bypass arteri coroner).
2)
Deep Incisional Secondary (DIS) :
37
lnfeksi
terjadi pada tempat insisi sekunder pada pasien yang menjalani tindakan melalui
lebih dari satu insisi (contoh insisi' Pada donor [biasanya pada kaki] untuk
CBGB).
Petunjuk pencatatan/pelaporan ILO Profunda:
Apabila
infeksi memenuhi kriteria sebadai ILO superficial dan ILO profunda
klasifikasikan sebagai ILO profunda.
c. Kriteria ILO Organ/rongga tubuh (Organ/space SSO
1)
Infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah
tindakan operasi tanpa pemasangan implant atau dalam waktu 1 tahun bila operas'
dengan pemasangan implant clan infeksi diduga ada kaitannya dengan prosedur
operasi dan
2)
Infeksi mengenai semua bagian dari tubuh, kecuali
insisi kulit, fascia dan lapisan otot yang sengaja dibuka atau dimanipulasi
selama prosedur / tindakan dan
3)
Pasien sekurang-kurangnya mempunyai/memenuni salah satu
keadaan dibawah ini :
a)
Drainase purulen dari suatu drain yang dipasang melalui
"stab wound" kedalam organ/rongga tubuh.
b)
Dapat diisolasi kuman penyebaD dari biakan cairan atau
jaringan yang diarnbil secara aseptic dari organkongga tubuh.
c)
Abscess atau adanya bukti lain terjadinya infeksi yang
mengenaiorgan/rongga tubuh yang ditemukan berdasarkan pemeriksaanlangsung,
selama re-operasi, atau berdasarkan hasll pemeriksaan histopaiologi (PA) atau
radiologi.
d)
Dragnosis ILO organ/rongga tubuh oleh dokter bedah atau
dokter yang menangani pasien tersebut.
Petunjuk pencatatan/pelaporan ILO Organ/rongga tubuh:
1)
Organ atau rongga tubuh meliputi semua bagian/organ
tubuh manusia kecuali kulit, fascia atau lapisan otot, yang sengaja dibuka atau
dimanipulasi selama tindakan operasi. Tempat atau nama organ tubuh yang
spesifik harus dicantumkan pada ILO organ/rongga tubuh untuk
mengidentifikasikan tempat terjadinya infeksi.
2)
Secara spesifik ternpat terjadinya infeksi harus
dicantumkan dalam pelaporan ILO orgardrongga tubuh (Iihat juga kriteria untuk
tempat tersebut). Sebagai contoh, pada tindakan apendektomi yang kemudian
terjadi abses sub-diafragma, akan dilaporkan sebagal ILO
38
organ/rongga
tubuh dengan tempat spesifiknya pada "intra-abdorninal" (ILO-IAB).
3)
Daftar nama organ spesifik yang digunakan dalam
pencatatan / pelaporan untuk ILO organ/rongga tubuh.
4)
Biasanya infeksi organ/rongga tubuh keluar (drains)
melalui tempat insisi. Infeksi tersebut umumnya tidak rnemerlukan re-operasi
dan dianggap sebagai komplikasi dari insisi, sehingga keadaan tersebut harus
dikiasifikasikan sebagal suatu ILO profunda.
2.
Faktor Risiko ILO
Faktor
risiko terjadinya ILO dapat berasal dari:
a.
kondisi pasien sendiri, rnisalnya usia, obesitas,
penyakit berat, ASAScore, karier MRSA, lama rawat pra operasi, malnutrisi, DM,
penyakit keganasan.
b.
Prosedur operasi: Cukur rambut sebelum operasi, jenis
tindakan, antibiotik profilaksis, larnanya operasi, tindakan lebih dari 1
jenis, benda asing, tranfusi darah, mandi sebelum operasi, operasi emergensi,
drain.
c.
Jenis operasi: operasi bersih, operasi bersih
terkontaminasi, operasi kotor.
d.
Perawatan paska infeksi: tempat perawatan,
tindakan-tindakan keperawatan (pergantian verban), lama perawatan.
E. Infeksi Rumah Sakit Lainnya
1. Phlebitis
Phlebitis
dalam klasifikasi HAIs oleh CDC, dikelompokkan dalam CVS-VASC (Arterial or
venous infection).
Kriteria Phlebitis
Infeksi arteri atau vena
harus memenuhi minimal 1 dari kriteria berikut:
a.
Hasil kultur positif dari arteri atau vena yang diambil
saat operasi. Terdapat bukti infeksi dari arteri atau vena yang terlihat saat
operasi atau berdasarkan bukti histopatologik.
b.
Pasien minimal mempunyai 1 gejala dan tanda berikut,
tanpa diketemukan penyebab lainnya:
39
-
Demam (>38°C), sakit, eritema, atau panas pada
vaskuler yang terlibat, dan
-
Kultur semikuantitatif dari ujung kanula intravaskuler
tumbuh > 15koloni mikroba, dan
-
Kultur darah tidak dilakukan atau hasil negatif.
c.
Adanya aliran nanah pada vaskuler yang terlibat.
d.
Untuk pasien 51tahun, minimal mempunyai i gejala dan
tanda berikut, tanpa diketemukan penyebab lainnya:
-
Demam (>38°C rektal), hipotermi (<37°C rektal),
apneu, bradikardi,letargi atau sakit, eritema, atau panas pada vaskuler yang
terlitAt, dan
-
Kultur semikuantitatif dari ujung kanula intravaskuler
tumbuh > 15koloni mikroba, dan
-
Kultur darah tidak dilakukan atau hasil negatif.
Petunjuk Pelaporan
a.
lnfeksi dari transplantasi arteri-vena, shunt, atau
fistula atau lokasi kanulasi vaskuler sebagai CVS-VASC tanpa adanya hasil
kultur dari darah.
b.
Infeksi intravaskuler dengan hasil kultur darah
positif, dilaporkan sebagai IADP.
2.
INFEKSI
DEKUBITUS Kriteria infeksi dekubitus:
lnfeksi dekubitus harus
memenuhi kriteria berikut:
a.
Pasien paling tidak mempunyai 2 (dua) gejala dan tanda
berikut, yang tidak diketahui penyebab lainnya: kemerahan, sakit, atau
pembengkakkan di tepian luke dekubitus, dan
b.
Minimal ditemukan 1 (satu) dari bukti berikut:
− Hasil kultur
positif dan cairan atau jaringan yang diambil secara benar.
− Hasil kultur darah positif.
Keterangan:
a.
Adanya cairan purulen semata, belum cukup sebagai bukti infeksi.
b.
Kultur positif dari perrnukaan dekubitus belum cukup
sebagai bukti infeksi.Spesimen kultur yang berupa cairan harus diambil dari
bagian dalam luka dekubitus dengan menggunakan jarum aspirasi. Spesimen
jaringan dengan cara biopsy tepian ulkus.
Catatan:
Jenis-jenis IRS lain, dan kiasifikasi IRS berdasarkan CDC
dapat dilihat pada larnpiran 6. 40
BAB V
MANAJEMEN SURVEILANS
A. Identifikasi Kasus
Apabila ditemukan kasus IRS,
maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan disini
1.
Apakah kasus IRS didapatkan secara pasif atau aktif?
2.
Apakah kasus IRS didapatkan berdasarkan pasien atau temuan
laboratorium?
3.
Apakah kasus IRS didapatkan secara prospektif atau retrospektif?
Ad. 1. Kasus IRS yang didapatkan secara pasif atau aktif
Pada
surveilans secara pasif, orang yang tidak duduk dalam Komite/Tim PPI dipercaya
untuk mencatat dan melaporkan bila menemukan infeksi selama perawatan.Misalkan
tersedia formulir yang diisi oleh dokter atau perawat yang merawat bila
menemukan IRS pada pasiennya.Oleh froarena keterampilan dan pengetahuan tenaga
semacam ini Iebih tertuju pada perawatan pasien daripada masalah surveilans,
maka tidak heran kalau masalah yang selalu ada pada surveilans pasif adalah selalu
misklasifikasi, underreporting dan kurang runutnya waktu dari data yang
terkumpul.
Surveilans
aktif adalah kegiatan yang secara khusus dilakukan untuk mencari kasus IRS oleh
orang-orang yang telah terlatih dan hampir selalu dari KomitefTim PPI tersebut
mencari data dari berbagai sumber untuk mengumpulkan informasi dan memutuskan
apakah terjadi IRS atau tidak.
Ad. 2. Kasus IRS didapatkan berdasarkan klinis pasien atau temuan
laboratorium
Surveilans
yang didasarkan pada temuan klinis pasien, menelaah faktor risiko, memantau
prosedur perawatan pasien yang terkait dengan prinsip¬prinsip pencegahan dan
pengendalian infeksi.Dalam hal ini diperlukan pengamatan langsung di ruang
perawatan dan diskusi dengan dokter atau perawat yang merawat.
Surveilans
yang berdasarkan pada temuan iaboratorium, semata-mala didasarkan atas hasil
pemeriksaan laboratorium atas sediaan klinik.Oleh karena itu infeksi yang tidak
dikultur yaitu yang didiagnosis BAL secara klinik (berdasarkan gejala dan tanda
klinik) saja, seperti sepsis dapat terlewatkan, sementara hasil biakan positif
tanpa konfirmasi klinik dapat secara salah diinterpretasikan sebagai IRS
(misalnya hash' positif hanya merupakan kolonisasi dan bukan infeksi).
41
Ad. 3. Kasus IRS didapatkan secara prospektif atau retrospektif
Yang
dimaksud dengan surveilans prospektif adalah pemantauan setiap pasien selama
dirawat di rumah sakit dan untuk pasien operasi sampai setelah pasien pulang
(satu bulan untuk operasi tanpa implant dan satu tahun jika ada pemasangan
implant).
Surveilans
restrospekt!f hanya mengandalkan catatan medik setelah pasien pulang untuk
menemukan ada tidaknya IRS.
Keuntungan yang paling utama
pada surveilans prospektif adalah
1.
Dapat langsung rnenentukan kluster dari infeksi.
2.
Adanya kunjungan Komite/Tim PPI di ruang perawatan.
3.
Memungkinkan analisis data berdasarkan waktu dan dapat
memberikan umpan batik.
Kelemahannya
adalah memerlukan sumber daya yang lebih besar dibandingkan surveilans
retrospektif.
Sistem
surveilans IRS secara Nasional memerlukan penemuan kasus berdasarkan pasien
yang aktif dan prospektif.
Semua
metode yang dijelaskan dalam bab ini (Iihat tabel 4) dirancang untuk menemukan
kasus baru atau insiden IRS dan pada umumnya untuk menghitung laju insiden (incidence rale).
1. Pengumpulan dan Pencatatan Data
Tim
PPI bertanggung jawab atas pengumpulan data tersebut di atas, karena mereka
yang morainic' keterampilan dalam mengidentifikasi IRS sesugi dengan kriteria
yang ada.Sedangkan pelaksana pengumpul data adalah 1PCN yang dibantu IPCLN.
Banyak
sumber data diperlukan dalam pelaksanan surveilans IRS tergantung dari jenis
pelayanan medik yang diberikan oleh suatu rumah sakit. Komite/Tim PPI harus
memiliki akses yang luas atas sumber data serta perlu mendapatkan kerja sama
dari semua bat:Ilan / unit di rumah sakit tersebut, agar dapat melaksanakan
surveilans dengan balk atau melaksanakan penyelidikan suatu KLB.
Seringkali
diperlukan sumber dari dokter,perawat, pasien maupun keluarga pasien, dari
farmasi, catatan medik, catatan perawat. untuk mengingatkan
42
Komite/Tim
PPI kepada suatu infeksi baru dan juga untuk mencari rujukan mengenai cara
pencegahan dan pengendaliannya.
2. Pengumpulan Data Numerator
a. Pengumpul Data
Pengumpulan
numerator data dapat dilakukan clef) selain IPCN, misalyaIPCLN yang sudah
dilatih atau dengan rnelihat program otomatis daridatabase elektronik, tetapi
tetap IPCN atau seorang IPCO (Infection Prevention Control Officer) atau IPCD
(Infection Prevention Control Doctor) yang membuat keputusan final tentang adanya
IRS berdasarkan kriteria yang dipakai untuk menentukan adanya IRS.
b. Jenis Data Numerator yang Dikumpulkan
1)
Data demografik: nama, tanggal lahir, jenis kelamin,
nomor catatan rnedik, tanggal masuk RS.
2)
Infeksi: tanggal infeksi muncul, lokasi infeksi, ruang
perawatan saatg;nfeksi muncul pertama kali.
3)
Faktor risiko: alat, prosedur, faktor lain yang berhubungan dengan IRS.
4)
Data laboratorium: jenis mikroba, antibiogram, serologi, patologi.
5)
Data Radiology/imaging: X-ray, CT scan, MRI, dsb.
c. Sumber data numerator
1)
Catatan masuk/keluar/pindah rawat, catatan laboratorium mikrobiologi.
2)
Mendatangi bangsal pasien untuk mengamati dan
berdiskusi dengan perawat.
3)
Data-data pasien (catatan kertas atau komputer) untuk
konfirmasi kasus:
a. Hasil laboratorium dan radiologi/imaging
b. Catatan perawat dan dokter
dan konsulan
c. Diagnosis saat masuk RS
d. Riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik
e. Catatan diagnostik dan
intervensi bedah
f. Catatan suhu
g. Informasi pemberian
antibiotik
4)
Untuk kasus SSI post-discharge, somber data termasuk
catatan dari klinik bedah, catatan dokter, departemen ernergensi.
d. Bagaimana IPCO mengumpulkan data numerator
1)
Amati catatan masuk/keivar/pindah rawat pasien-pasien
yang masuk dengan infeksi, tempatkan mereka pada kelompok risiko mendapatkan
IRS.
43
2)
Review laporan laboratorium untuk melihat pasien yang
kemungkinan terinfeksi (rnisalnya kultur positif mikrobiologi, temuan patologi)
dan bicarakan dengan persona laboratorium untuk mengidentifikasi pasien yang
kemungkinan terinfeksi dan untuk mengidentifikasi kluster infeksi, khususnya
pada area yang tidak dijadikan target rutin surveilans IRS.
3)
Selama melakukan surveilans ke ruangan, arnati iembar
pengumpul data, catatan suhu, lembar pemberian antibiotik, dan Catatan Medis
Pasien; bicara dengan perawat dan dokter untuk mencoba mengidentifikasi
pasien-pasien yang kemungkinan terinfeksi.
4)
Lakukan review data pasien yang dicurigai terkena IRS;
review perjalanan penyakit yang dibuat oleh dokter dan perawat, data
laboratorium, laporanradiologiiimaging, laporan operasi, dsb.; bila data
elektronik ada, review dapat dilakukan melalui komputer, tetapi keliling
ruangan tetap penting untuk surveilans, pencegahan, dan !control aktivitas.
5)
Review juga dilakukan dari sumber kumpulan data Iengkap IRS.
3. Pengumpulan Data Denominator
a. Pengumpulan data denominator
Pengumpulan
denominator data &cat dilakukan oleh selain IPCN, misalnya 1PCI_N yang
sudah dilatih.Data juga dapat diperoleh, asalkan data ini secara substansial
tidak berbeda dengan data yang dikumpulkan secara manual.
b. Jenis data denominator yang dikumpulkan
1)
Jumlah populasi pasien yang berisiko terkena IRS.
2)
Untuk data laju densitas insiden IRS yang berhubungan
dengan alat: catatan harian jumlah total pasien dan jumlah total hari
pemasangan alat (ventilator, central line, and kateter urin) pada area yang
dilakukan surveilans. Jumlahkan hitungan harian ini pada akhir periode
surveilans untuk digunakan sebagai denominator.
3)
Untuk laju SSI atau untuk mengetahui indek risiko: catat informasi
untuk
prosedur
operasi yang d1pilih untuk surveilans (misal: jenis prosedur, tanggal, faktor
risiko, dsb.)
c. Sumber data denominator
1)
Untuk laju densitas insiden yang berhubungan dengan
alat: datangi area perawatan pasien untuk mendapatkan hitungan harian dari
jumlah pasien yang datang dan jumlah pasien yang terpasang alat yang umumnya
berhubungan dengan kejadian IRS (misal: sentral line, ventilator, atau kateter
menetap).
44
2)
Untuk laju SSI: dapatkan data rinci saat operasi dari
log kamar operasi untuk masing-masing prcsedur operasi.
d. Bagaimana ICP mengumpulkan data denominator
1)
Untuk laju densitas insiden yang berhubungan dengan
alat: catatan harian jumlah pasien yang datang dan jumlah pasien yang terpasang
masing-masing alat.
2)
Untuk laju SSI : dapatkan data rinci dari log kamar operasi
dan data-data pasien yang diperlukan.
4. Perhitungan
a. Numerator
Angka kejadian infeksi dan
perlu data untuk dicatat.
Terdapat
tiga kategori yang perlu dicatat atas seorang pasien dengan IRS, yaitu: data
demografi, infeksinya sendiri dan data laboratorium.
b. Denominator
Data yang perlu dicatat.
Denominator
dari infection rates adalah tabulasi dari data pada kelompok pasien yang
memiliki risiko untuk mendapat infeksi:
1)
jumlah pasien dan jumlah hari rawat pasien ,
2)
jumlah hari pemakaian ventilator,
3)
jumlah total hari pemakaian kateter vena sentral dan
4)
jumlah hari pemakaian kateter urin menetap
c. Pencatatan Data
Metode
yang dipakai dalam surveilans IRS ini adalah metoda target surveilan aktif
dengan melakukan kunjungan lapangan (bangsal). Dilakukan identifikasi keadaan
klinik pasien ada tidaknya tanda-tanda infeksi dan factor-faktor risiko
terjadinya infeksi, bila ditemukan tanda¬tanda infeksi dan faktor-faktor risiko
dilakukan pemenksaan laboratorium sebagai pemeriksaan penunjang.Kalau tersedia
sarana jaringan komputer, maka Komite/Tire PPI dapat rnelakukan kegiatan
penemuan kasus dengan mengakses data dari meja kerjanya.
Biasanya,
penemuan kasus dimu;ai dengan menelusuri daftar pasien baru masuk dengan
infeksi maupun tidak infeksi (balk infeksi komunitas maupun IRS pada perawatan
sebelumnya) dan pasien¬pasien yang mempunyai risiko untuk mendapatkan IRS
seperti pasien diabetes atau pasien dengan penyakit Imunosupresi kuat.
Selanjutnya mengunjungi laboratorium untuk melihat laporan biakan
rnikrobiologi.Hal ini dapat membantu Komite/Tim
45
PPI
menentukan pasien mana yang perlu ditelaah lebih lanjut.Di bangsal melakukan
observasi klinis pasien, laporan keperawatan, grafik suhu, lemoar pemberian
antibiotik.Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dapat melakukan wawancara
dengan dokter, perawat dan pasien sendiri rnaupun keluarganya. Kunjungan rutin
ke bangsal dan labpratorium ini memberi kesempatan kepada Komite/Tim PPI untuk
rnengadakan kontak langsung dengan petugas perawatan atau laboratorium, untuk mendapat
gambaran adanya IRS serta gambaran penerapan keadaan umum pada saat itu serta
memberikan himbingan iangsung pendidikar (on-the-spot) tentang pencegahan dan
pergendalian infeksi pada umumnya atau Kewaspadaan Standar pada khususnya.
d. Sumber data dan teknik pengumpuan data Surnber data :
1)
Catatan rnedis / catatan perawat.
2)
Catatan hash perneriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi).
3)
Pasien / keluarga pasien.
4)
Farmasi
5)
Rekam medic
5. Teknik pengumpulan data:
a.
Pengumpulan data denominator dan numerator dilakukan
oleh IPCN yang dibantu oleh IPCLN.
b.
Data denominator dikumpulkan setiap hari, yaitu jumlah
pasien,jumlah pemakaian alat-alat kesehatan (kateter urine menetap, ventilasi
mekanik, kateter vena central, kateter vena perifer) dan jumlah kasus operasi.
c.
Data numerator aikumpulkan bila ada kasus baru infeksi
seperti infeksi saluran kemih (ISK), infeksi aliran darah primer (IADP),
pneumonia balk yang terpasang dengan ventilator maupun tidak terpasang dengan
ventilator, infeksi luka operasi (ILO).
6. Analisis Data
Menentukan dan menghitung
laju.
Laju adalah
suatu probabilitas suatu kejadian. Biasa dinyatakan dalam formula sebagal
berikut :
(x/y) k
x = numerator, adalah jumlah
kali kejadian selama kurun waktu tertentu.
y
= denominator, adalah jumlah populasi dari mana kelompok yang mengalami
kejadian tersebut berasal selama kurun waktu yang sama.
46
k = angka
bulat yang dapat membantu angka laju dapat mudah dibaca (100, 1000 atau
10.000).
kurun waktu harus jelas dan sama antara
numerator dan denominator sehingga
laju tersebut mempunyai arti.
Ada tiga
macam laju yang dipakai dalam survOilans IRS atau surveilans yaitu incidence, prevalence dan incidence density.
a. Incidence
Adalah
jumlah kasus baru dari suatu penyakit yang timbul dalam satu kelompok populasi
tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.
Di
dalam surveilans IRS niaka incidence adalah jumlah kasus IRS baru dalam kurun
waktu tertentu dibagi oleh jumlah pasien dengan risiko untuk mendapatkan IRS
yang sama dalam kurun waktu yang sama
b. Prevalence
Adalah
jumlah total kasus baik baru rnaupun lama suatu kelompok dalarr, sat.: kurun
waktu tertentu (period prevalence) atau dalam satu waktu tertentu (point
prevalence).
Point
prevalence nosocomial rates adalah jumlah kasus IRS yang dapat dibagi dengan
jurnlah pasien dalam survei.
Rhame
menyatakan hubungan antara incidence dan prevalence adalah sebagai berikut :
I = P [(LA / LN - INTN)
I
= Incidence rates
P
= Prevalence rates
LA
LN
INTN
= Mai
rata-rata dari lama rawat semua pasien
= Nilai
rata-rata dad lama
rawat pasien yang
mengalarni
satuatau
Iebih IRS.
= Interval
rata-rata antara waktu masuk rumah sakit dan hari
pertama
terjadinya IRS pada pasien-pasien yang mengalami
satu
atau Iebih
IRS tersebut.
Dalam
penerapan di rumah sakit maka prevalence rates selale. memberikan over estimate
untuk risiko infeksi oleh karena lama rawat dad pasien yang tidak mendapat IRS
biasanya Iebih pendek dari lama rawat pasien dengan IRS.
Hal
ini dapat Iebih mudah dilihat dengan menata Wang formula sebagai berikut:
47
Dimana Prevalence sama
dengan Incidence dikali Lama Infeksi.
c.
Incidence Density
Adalah
rata-rata instant dimana infeksi terjadi, relatif terhadap besaran populasi
yang babas infeksi.Incidence density diukur dalam satuan jumlah kasus penyakit
per satuan orang per satuan waktu.
Contoh
popular dari Incidence Density Rates (IDR) yang sering dipakai di rumah sakit
adalah jumlah IRS per 1000 pasien/hari.
Incidence density sangat berguna terutama pada keadaan sebagai berikut :
1)
Sangat berguna bila laju infeksinya merupakan fungsi
linier dari waktu panjang yang dialami pasien terhadap faktor risiko (malnya
semakin lama pasien terpajan, semakin besar risiko mendapat infeksi).
Contoh incidence density
rate (IDR)
Jumlah
kasus ISK / jumlah hari pemasangan kaleter. Lebih balk daripada Incidence Rate
(IR) dibawah ini Jumlah 1SK jumlah pasien yang ter pasang kateter urin.
Oleh
karena itu 1DR dapat mengontrol lamanya pasien terpajan oleh faktor risikonya
(dalam hal ini pemasangan kateter urin) yang berhubungan secara linier dengan
risiko infeksi.
2)
Janis laju lain yang sering digunakan adalah Atack Rate
(AR) yaitu suatu bentuk khusus dari incidence rate. Biasanya dinyatakan dengan
persen
(%) dimana k
100 dan digunakan hanya padaKLB IRS yang mana pajanan terhadap suatu populasi
tertentu terjadi dalam waktu pendek.
Surveilans
merupakan kegiatan yang sangat membutuhkan waktu dan menyita hampir separuh
waktu kerja seorang IPCN sehingga dibutuhkan penuh waktu (full time). Dalam hal
ini bantuan komputer akan sangat membantu, terutama akan meningkatkan efisien
pada saat analisis. Besarnya data yang harus dikumpulkan dan kompieksitas cara
analisisnya merupakan alasan mutlak untuk menggunakan fasilitas komputer, meski
di rumah sakit keel! sekalipun. Lagi pula sistem surveilans tidak hanya
berhadapan dengan masalah pada waktu sekarang saja, tetapi juga harus
mengantisipasi tantangan di masa depan.
Dalam
penggunaan kornputer tersebut ada beberap.a hal yang harus dipertimbangkan,
yaitu :
1)
Memilih sistem komputer yang akan dipakai, komputer
mainframe atau komputer mikro.
48
Komputer
mainframe bekerja jauh lebih cepat, rnemuat data jauh Iebih besar dan memiliki
laringan yang dapat diakses di seluruh area rumah sakit.Semua data pasien
seperti sensus pasien, hasil Iaboratorium dan sebagainya, dapat dikirim secara
elektronik.Namun harus diingat bahwa komputer mainframe adalah cukup mahal baik
pembelian maupun operasionalnya.Tidak setiap orang dapat menggunakannya dan
memerlukan pelatihan yang intensif.Software untuk program pencegahan dan
pengendalian IRS bagi komputer mainframe sampai saat ini masih terbatas.
Mikrokomputer jauh Iebih murah dan Iebih rnudah dioperasikannya oleh setiap
petugas.
2) Mencari software
yang sudah tersedia dan memilih yang digunakan.
Pemilihan
software harus dilakukan hati-hati dengan mempertimbangkan maksud dan tujuan
dari surveilans yang akan dilaksanakan di rumah sakit.
7. Evaluasi, Rekomendasi dan Diseminasi
Hasil
surveilans dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program pencegahan
dan pengendalian infeksi rumah sakit (PPIRS) dalam satu waktu tertentu.
B. Memperbandingkan Laju Infeksi Diantara Kelompok Pasien
Denominator
dari suatu laju (rate) harus menggambarkan populasi at risk. Dalam membandingkan
laju antar kelompok pasien di dalam suatu rumah sakit, maka laju tersebut harus
disesuaikan terlebih dahulu terhadap faktor risiko yang berpengaruh besar akan
terjadinya infeksi. Kerentanan pasien untuk terinfeksi sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor risiko tertentu, seperti karakterisitik pasien dan pajanan.
Faktor
risiko ini sacara garis besar dibagi menjadi 2 kategori yaitu faktor intrinsik
dan faktor ekstrinsik.
1.
Faktor
intrinsik adalah faktor yang melekat pada pasien seperti penyakit yang mendasari dan ketuaan.
Mengidentifikasi faktor perlu dilakukan dengan mengeiompokkan pasien dengan
kondisi yang sama (distratifiksi).
2.
Faktor
ekstrinsik adalah yang lebih berhubungan dengan petugaspelayanan atau perawatan (perilaku petugas di
seluruh rumah sakit).
Meskipun
hampir semua faktor ekstrinsik memberikan risiko IRS, namun yang lebih banyak
peranannya adalah jen;s intervensi medis yang berisiko tinggi, seperti tindakan
invasif, tindakan operatif atau pemasangan alat yang invasif. Banyak alasan
yang dapat dikemukan mengapa pasien yang memiliki penyakit lebih berat
49
yang
meningkat kerentanannya. Alat tersebut merupakan jembatan bagi masuknya kuman
penyakit dari bagian tubuh yang satu ke dalam bagian tubuh yang lain dari
pasien. Risiko untuk mendapat infeksi luka operasi (ILO), berkaitan dengan
beberapa faktor. Diantaranya, yang terpenting adalah bagaYnana prosedur operasi
dilaksanakan, tingkat kontarninasi mikroorganisme di tempat operasi, lama
operas' dan faktor intrinsik pasien. Oleh karena faktor-faktor tersebut tidak
dapat dieliminasi maka angka ILO disesuaikan terhadap faktor-faktor tersebut.
Demikian
pula halnya dengan jenis laju yang lain, apabila akan diperbandingkan maka
harus diingat faktor-faktor mane yang harus disesuaikan agar perbandirigannya
menjadi bermakna.
C. Memperbandingkan Laju Infeksi Dengan Populasi Pasien
Rumah
sakit dapat menggunakan data surveilans IRS untuk menelaah program pencegahan
dan pengendalian IRS dengan membandingkan angka laju IRS dengan populasi pasien
yang same di dalam rumah sakit yang sama. Misalnya membandingkan laju IRS dari
dua ICU atau dapat pula menggunakan laju IRS dengan angka eksternal (benchmark
rates) rumah sakit atau dengan mengamati perubahan angka menurut waktu di rumah
sakit itu sendiri.
Meskipun
angka laju infeksi telah mengalami penyesuaian dan melalui uji kemaknaan namun
interprestasi dari angka-angka tersebut harus dilakukan secara hati-hati agar
tidak terjadi kekeliruan.Banyak yang menganggap bahwa angka laju infeksi di
rumah sakit itu mencerminkan keberhasilan dan kegagalan dari petugas pelayanan
/ perawatan pasien atau fasilitas pelayanan kesehatan dalam upaya pencegahan
dan pengendalian IRS.
Meskipun ada
benarnya, masih banyak faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan angka
tersebut.
Pertama, definisi
yang dipakai atau teknik daiam surveilans tidak seragamantar rumah sakit ataa tidak dipakai secara
konssten dari waktu ke wakturneskipun dari sarana yang sama. Hal ini
menimbulkan variasi dari sensitifitas dan spesifisitas penemuan kasusnya.
Kedua, tidak
lengkapnya informasi klinik atau bukti-bukti laboratorium yang tertulis di catatan medik pasien
memberi dampak yang serius terhadap validitas dan utilitas dari angka laju IRS
yang dihasilkan.
50
Ketiga, angka tidak
disesuaikan terhadap faktor risiko intrinsik. Faktor C‘siko ini sangat panting artinya dalam
mendapatkan suatu IRS, namun sering kali lobos dari pengamatan dan sangat
bervariasi dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Sebagai contoh,
di rumah sakit yang memiliki pasien dengan immunocompromised diharapkan
memiliki faktor risiko intrinsik yang lebih besar daripada rumah sakit yang
tidak memiliki karakteristik pasien seperti itu.
Keempat, jumlah
population at risk (misalnya jumlah pasien masuk / pulang, jumlah hari rawat, atau jumlah operasi) mungkin tidak cukup besar
untuk menghitung angka laju IRS yang sesungguhnya di rumah sakit tersebut.
Meskipun
tidak mungkin untuk mengontrol semua faktor tersebut di atas, namun harus
disadari pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap angka laju infeksi serta
mempertimbangkan hal tersebut pada saat membuat interpretasi.
Memeriksa Kelayakan dan Ketaikan Peralatan Pelayanan
Medis Utifisasi alat (Device Utilization = DU) didefiniskan sebagai
berikut :
∑ hari pemakaian alat
DU =
∑hari rawat
pasien
Di
ICU anak dan dewasa maka ∑ hari pemakaian alat terdiri dari jumlah tota dari
hari pemakaian ventilator, jumlah hari pemasangan kateter urin. DU suatu ICU
merupakan salah satu cara mengukur tingkat penerapan tindakan invasif yang
memberikan faktor risiko intrinsik bagi IRS. Maka DU dapat dipakai sebagai
tanda berat ringannya pasien yang dirawat di unit tersebut, yaitu pasien rentan
secara intrinsik terhadap infeksi.DU tidak berhubungan dengan laju infeksi
(infection rate) yang berkaitan dengan pemakaian alat, ∑ hari pemakaian.
Perhatian
Komite/Tim PPI tidak hanya terpaku pada laju infeksi di rumah sakit. Sehubungan
dengan mutu pelayanan / perawatan maka harus dipertanyakan tentang "apakah
pajanan pasien terhadap tindakan invasif yang meningkat risiko IRS telah
diminimalkan 7'. Peningkatan angka DU di ICU memerlukan penelitian Iebih
lanjut.Untuk pasien yang mengalami tindakan operatif tertentu, maka distribusi
pasien mengenai kategori risikonya sangat bermanfaat.misalnya, untuk membantu
menentukankelayakan intervensi yang diberikan. Menaliti kelayakan suatu
intervensi juga membantu menentukan apakah pajanan telah diminimalkan.
51
BAB VI
PELAPORAN
Laporan
sebaiknya sistematik, tepat waktu, dan informatif. Data dapat disajikan dalam
berbagai bentuk, yang panting mudah dianalisa .dan di interpretasi. Penyajian
data harus jelas, sederhana, dapat dijelaskan did sendiri. Bisa dibuat dalam
bentuk tabel, grafik,dan pie. Pelaporan dibuat dengan narasi singkat. Laporan
dibuat secara periodik, setiap bulan, triwulan, semester, tahunan
Tujuan dibuat pelaporan
sebagai berikut:
1.
Memperiihatkan pola IRS dan perubahan yang terjadi (trend).
2.
Memudahkan analisis dan interpretasi data
Surveilans
belumlah sempurna diiaksanakan apabila datanya belum didesiminasikan kepada
yang berkepentingan untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi.
Oleh sebab itu hasil surveilans angka infeksi harus disampaikan ke seluruh
anggota komite, direktur rumah sakit, ruangan atau unit terkait secara
berkesinambungan, penanggung jawab ruangan beserta stafnya berikut
rekomendasinya.
Oleh
karena IRS mengandung hal yang sangat sensitif, maka data yang dapat mengarah
ke pasien atau perawatan harus benar-benar terjaga kerahasiaannya. Dibeberapa
negara data seperti ini bersifat rahasia. Data seperti in tidak digunakan
rnemberikan sanksi tetapi hanya digunakan untuk tujuan perbaikan mutu
pelayanan.
Tujuan
diseminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk
menetapkan strategik pengendalian IRS. Laporan didesiminasikan secara periodik
bulanan, triwulan, tahunan. Bentuk penyampaian dapat secara lisan dalam
perternuan, tertulis, papan buletin.
Sudah
selayaknya Komite/Tim PPI menyajikan data surveilans dalam bentuk standar yang
menarik yaitu berupa laporan narasi singkat (rangkuman), tabei, grafik kepada
Komite/Tim PPI. Analisis yang mendalam dari numerator dapat dilaksanakan untuk
memberikan gambaran epidemiologinya, termasuk kuman patogen dan faktor
risikonya.
PENUTUP
Infeksi
rumah sakit menjadi maaslah yang tidak bisa dihindari sehingga dibutuhkan data
dasar infeksi untuk menurunkan angka yang ada. Untuk itu perlunya melakukan
surveilans dengan metode yang aktif, terus menerus dan tepat sasaran.
Pelaksanaan surveilans
memerlukan tenaga khusus yang termasuk tugas dari IPCN.
Untuk itu
diperlukan tenaga IPCN yang purna waktu.
0 Response to "PEDOMAN SURVEILAN RUMAH SAKIT"
Posting Komentar