PEMBERLAKUAN PANDUAN SURGICAL SAFETY SURGERY RUMAH SAKIT
DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : 26.c/KPTS/RS/IV/2013
TENTANG
PEMBERLAKUAN
PANDUAN SURGICAL SAFETY SURGERY
RUMAH
SAKIT
MENIMBANG
|
:
|
1.
|
Bahwa
|
rumah
sakit
|
wajib menerapkan standar keselamatan
|
|||
pasien
|
dan mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan
|
|||||||
pasien
|
||||||||
2.
|
Bahwa
|
setiap
pasien yang akan
dilakukan tindakan
|
||||||
pembedahan
harus dilakukan verifikasi mengenai ketepatan
|
||||||||
lokasi,
|
prosedur
|
dan
|
pasien oleh tim
|
kamar bedah (ahli
|
||||
anestesi,
ahli bedah dan perawat) dengan menggunakan
|
||||||||
checklist
safety surgery.
|
||||||||
3.
|
Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
|
|||||||
dalam
angka 1 dan 2 diatas. perlu ditetapkan
Panduan
|
||||||||
Surgical Safety Surgery di
Rumah Sakit
|
||||||||
.
|
||||||||
MENGINGAT
|
:
|
1.
|
Undang-Undang
|
Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
|
||||
tentang
Rumah Sakit
|
||||||||
2.
|
Peraturan Menteri KesehatanRepublik Indonesia Nomor 1691
|
|||||||
1691/MENKES/PER/VIII/2011
tentang
|
Keselamatan Pasien
|
|||||||
Rumah Sakit. Infeksi
|
||||||||
3.
|
||||||||
2
MEMUTUSKAN
:
MENETAPKAN
|
:
|
|
KESATU
|
:
|
Memberlakukan
Panduan Nomor : 09/PND/OK/RSI-SA/2013
|
tentang
Panduan Surgical Safety Surgery di
Rumah Sakit
|
||
sebagaimana
terlampir
|
||
KEDUA
|
:
|
Panduan
ini berlaku sejak tanggal diterbitkan dan dilakukan
|
evaluasi
setiap tahunnya
|
||
KETIGA
|
:
|
Apabila
hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan dan
|
perbaikan,
maka akan dilakukan perubahan dan perbaikan
|
||
sebagaimana
mestinya
|
Ditetapkan
di : Semarang
|
||||
Tanggal
|
: 21
Jum. Tsani 1434.H
|
|||
02
April
|
2013.M
|
|||
RUMAH SAKIT
Direktur Utama
TEMBUSAN
Yth :
1. Manajer
Pelayanan Medis
2. Manajer
Keperawatan
3. Kepala
Instalasi Bedah Sentral
4. Komite
Keselamatan Pasien
5. Arsip
3
NOMOR : 26.c/KPTS/RSI/IV/2013
TENTANG : PEMBERLAKUAN PANDUAN
SURGICAL
SAFETY SURGERY
RUMAH SAKIT ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan pembedahan di kamar
operasi merupakan pelayanan yang multi komplek, yang sering kali menimbulkan
cidera medik atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD). Resiko-resiko atau
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi hampir semua berakibat fatal, diantaranya
adalah:
1.
Salah pasien yang dioperasi (wrong person surgery)
2.
Salah sisi operasi (wrong site surgery)
3.
Salah prosedur operasi (wrong procedure)
4.
Infeksi pada daerah yang dioparasi (surgical site infection)
5.
Tertinggalnya instrumen operasi
seperti gunting, kasa, jarum (retained
instruments and sponges after surgery)
The Joint commission melaporkan
150 KTD yang berhubungan dengan wrong
site surgery, wrong procedure surgery, dan wrong person surgery, kasus terbanyak terjadi pada operasi tulang (41%0), bedah umum (20%), bedah syaraf
(14%), bedah urologi (11%), kemudian operasi wajah, mata, dan THT (JCAHO).
Secara lebih lengkap risiko
komplikasi atau KTD tindakan pembedahan dapat dilihat pada tabel. Paling tidak
30-50 % komplikasi berat pada pasien yang menjalani tindakan operasi bedah
sebenarnya dapat dicegah.
Tabel 1. Penelitian risiko komplikasi / KTD
tindakan pembedahan .
Peneliti
|
Populasi dan Jumlah Sampel
|
Risiko Tindakan bedah
|
|||
Gawande AA
|
14.000 rekam medis pasien yang
|
Insiden
cidera
|
/
|
komplikasi
|
|
(Surgery, 1999)
|
menjalani operasi di rumah sakit
|
akibat pembedahan 3 %.
|
|||
Colorado dan Utah pada ahun
|
54 % cidera
bersifat dapat
|
||||
1992
|
dicegah
|
||||
15 % dari
pasien yang
|
|||||
mengalami
|
cidera
|
/
|
komplikasi
|
||
yang berat / meninggal
|
|||||
McGuire HH
|
44.603 pasien yang menjalani
|
2.797 pasien (6,3 %) mengalami
|
|||
(Arch Surgery,
|
operasi besar
|
komplikasi,
|
749 pasien (1,7 %)
|
||
1992)
|
diantaranya meninggal
|
||||
4
|
Populasi dan Jumlah Sampel
|
Risiko Tindakan bedah
|
||||||||
Kwaan MR
|
Diantara
|
2.826.367
|
operasi
|
Risiko cidera sebesar 1 diantara
|
|||||
(Arch urgery,
|
ditemukan 40 pasien mengalami
|
112.994 tindakan operasi
|
|||||||
2006)
|
operasi
|
yang
|
salah
|
tempat
|
|||||
(wrong-site surgery)
|
|||||||||
Seiden SC
|
236.300
|
tindakan operasi , yang
|
2.217
|
pasien
|
(0,94
|
%)
|
|||
(Arch Surgery,
|
diperoleh melalui data base dari
|
mengalami cidera /KTD
|
akibat
|
||||||
2006)
|
NPDB, ASA, PUDF dan the
|
operasi
|
pada tempat tubuh yang
|
||||||
Florida
|
Code
|
15
|
mandatory
|
salah (wrong-body
part surgical)
|
|||||
reporting
|
system,
|
periode
|
3.372
|
pasien
|
(1,58
|
%)
|
|||
tahun1990-2003
d Amerika
|
mengalami cidera / KTD akibat
|
||||||||
Serikat
|
prosedur / terapi yang salah
|
||||||||
(wrong-procedure / treatment)
|
|||||||||
Rogers SO
|
Analisis
|
444
|
kasus
|
tuntutan
|
258 kasus (58 %) merupakan
|
||||
(Surgery, 2006)
|
malpraktik bedah
|
yang terjadi
|
kasus surgical error
|
||||||
pada periode 1986-2004
|
75 %
|
error terjadi
|
saat
|
intra
|
|||||
operatif
|
|||||||||
25 % error terjadi pada saat
|
|||||||||
preopratif
|
|||||||||
35 % error terjadi pada saat post
|
|||||||||
operasi
|
Sedang tertinggalnya alat
instrument pada organ tubuh setelah operasi, yang paling sering adalah rongga
perut atau pelvis (54%), vagina (22%), dan rongga dada (7%). Berdasarkan
evaluasi 25 kasus instrument yang tertinggal dalam tubuh pasien setelah
menjalani pembedahan intra abdomen, pasien mengalami komplikasi sepsis,
perporasi usus, dan dua pasien meninggal (Gawabde, 2003).
Sebagai tim kesehatan yang
memberikan pelayanan di kamar bedah dan sadar betul bahwa kejadian-kejadian
tidak diharapkan itu bisa saja terjadi di rumah sakit ini, maka menjadi
petanyaan dan tantangan bagi kita mau apa
dan bagaimana menghadapi hal
demikian? Tentunya tidak sampai pada pertanyaan belaka, melainkan sampai pada komitmen untuk membuat suatu sistem
pencegahan supaya kejadian-kejadian tidak diharapkan tersebut tidak terjadi.
Sehingga proses pelayanan pembedahan yang kita jalankan menjadi pelayanan yang
aman dan nyaman.
5
Dalam hal ini Kementerian
Kesehatan RI khususnya Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan memilih dan
menetapkan sistem akreditasi yang mengacu pada Joint Commission International (JCI).
Pada Penilaian keselamatan Pasien
sasaran IV menyatakan bahwa Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat- pasien. Salah-lokasi,
salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah sesuatu yang mengkhawatirkan
dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari
komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah,
kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan
tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi.
Di samping itu pula asesment
pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya
yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan
yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting) dan
pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering
terjadi.
Dalam rangka menciptakan layanan
yang aman bagi pasien yang menjalani pembedahan khususnya mencegah kesalahan
sisi operasi, prosedur dan tepat pasien, Rumah Sakit menyusun kebijakan dan
prosedur serta panduan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam mencapai tujuan
tersebut.
a. Tujuan Umum
Memberikan pelayanan bedah yang
aman dan nyaman kepada setiap pasien dari mulai/sebelum operasi, dengan
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi.
b.
Tujuan
Khusus
1)
Anggota tim bedah mampu
meningkatkan kesadaran akan pentingnya keselamatan pasien dan risiko terjadinya
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dalam memberikan pelayanan pembedahan
sehari-hari.
2) Dapat
melakukan komunikasi yang efektif antara anggota tim bedah
3)
Anggota tim bedah dapat melakukan
verifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar.
6
RUANG LINGKUP KEGIATAN
Ruang lingkup dari bahasan ini adalah
ketentuan-ketentuan yang menjadi Elemen Penilaian SKP.IV.
1.
Rumah sakit menggunakan suatu
tanda yang jelas dan dapat dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan
melibatkan pasien di dalam proses penandaan
2.
Rumah sakit menggunakan suatu
checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi,
tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang
diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3.
Tim operasi yang lengkap
menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi / time-out” tepat sebelum
dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan.
4.
Kebijakan dan prosedur
dikembangkan untuk mendukung keseragaman proses untuk memastikan tepat lokasi,
tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan tindakan
pengobatan gigi / dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.
5.
(Unit terkait yang melakukan
prosedur ini adalah : UGD, ICU, Poli Gigi, Poli Bedah Rawat Jalan, SEC dan
radiologi).
Secara khusus, dalam the 2008 National Patient Safety Goals, JCAHO menetapkan protokol
universal dalam rangka untuk mencegah kesalahan identifikasi
pasien dalam pelayanan bedah. Dalam protokol tersebut disebutkan tiga
prosedur penting yang harus dilakukan, yaitu :
1. Proses verifikasi pre- operatif.
Tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini adalah
untuk menjamin semua dokumen yang terkait dengan prosedur operasi tersedia, dan
dikaji ulang dan telah diyakini semuanya telah konsisten sesuai dengan harapan
pasien dan tim bedah. Salah satu daftar tilik atau checklist yang dapat mebantu
pada tahap ini adalah daftar tilik yang dikembangkan oleh rumah sakit. (lihat
tabel 2)
2.
Membuat penandaan tempat operasi. Tujuan
pemberian tanda di tempat operasi adalah
menjamin tidak terjadinya keraguan tempat insisi bedah. Penandaan tempat
operasi harus jelas dan terlihat serta tidak hilang sewaktu pasien dipersiapkan
menjalani prosedur pembersihan diri.
3. Melakukan Time
out sebelum tindakan operasi dimulai. Melakukan
“ time out “
sebelum operasi bertujuan untuk menjamin tidak terjadinya
salah pasien, salah
7
prosedur atau salah sisi operasi.
Prosedur operasi tidak akan dimulai sampai semua permasalahan atau pertanyaan
menjadi jelas.
Sebagai upaya untuk mencapai
layanan bedah yang aman khususnya dalam rangka mencegah kesalahan sisi,
prosedur dan pasien yang menjalani operasi, maka Rumah Sakit menerapkan langkah
melalui: verifikasi terhadap pasien yang akan dilakukan tindakn operasi,
Penandaan area operasi dan implementasi Surgical
Safety check list sebagaimana direkomendasikan oleh WHO.
A. PENANDAAN TEMPAT OPERASI
Tujuan pemberian tanda di tempat
operasi adalah menjamin tidak terjadinya keraguan tempat insisi bedah. Dalam
prosedur penandaan harus jelas ditentukan :
1. Siapa
yang memberi tanda
2. Kapan
dilakukan penandaan
3. Bagaimana
cara penandaannya
4. Jenis
operasi apa yang perlu diberi penandaan
Tabel.2. Ketentuan penandaan tempat operasi
Variabel
|
Penjelasan
|
|||
Siapa yang memberi
|
Dokter yang melakukan tindakan
operasi/pembedahan.
|
|||
tanda
|
||||
Kapan dilakukan
|
dilakukan sebelum tindakan induksi anestesi (
rawat inap, poli
|
|||
penandaan
|
rawat jalan, persiapan kamar operasi/ di meja
operasi ).
|
|||
Bagimana cara
|
1.
|
Setiap
penandaan tempat operasi harus melibatkan pasien dan
|
||
penandaannya
|
atau keluarga
|
|||
2.
|
Bentuk penandaan dapat dilihat dengan jelas dan
berupa garis
|
|||
panah
|
||||
3.
|
Marker yang digunakan tidak hilang saat tempat
operasi dicuci
|
|||
Jenis
|
operasi
|
apa
|
1.
|
Pembedahan yang melibatkan ekstremitas secara
lateral (kanan
|
yang
|
perlu
|
diberi
|
atau kiri),
|
|
penandaan
|
2.
|
Struktur multipel (jari tangan / kaki)
|
||
3.
|
Level (spine)
|
|||
4.
|
Pada keadaan berikut adalah pengecualian dalam
prosedur
|
|||
pemberian marker :
|
||||
a. Operasi pada organ yang jumlahnya hanya satu
|
||||
b. Intervensi kasus pada tempat yang sudah
terpasang kateter
|
||||
atau instrumen lain
|
||||
c. Gigi
|
||||
d. Bayi prematur, dimana marker dapat meyebabkan
tato
|
||||
permanen
|
||||
e. Pasien menolak prosedur pemberian marker di
lokasi
|
||||
tempat operasi
|
||||
8
Sesuai dengan rekomendasi WHO,
agar pasien dapat dilayani secara aman maka Rumah Sakit menerapkan : Surgical Safety Checklis (Sign in, Tme out dan
Sign out).
1. Sign in.
Dalam tahap ini dipastikan bahwa
tidak terjadi kesalahan identifikasi, penandaan telah benar dilakukan,
antisipasi terhadap perdarahan, memastikan kelengkapan peralatan pendukung.
2. Time out.
Sebelum dokter bedah melakukan
insisi dilakukan time out singkat untuk memastikan bahwa semua prosedur telah
dilakukan dengan benar, tim dan peralatan telah telah lengkap dan semua sudah
tersedia sebagaimana diharapkan.
3. Sign out.
Sebelum pasien di kirim ke unit
pemulihan dipastikan bahwa instrumen bedah, kasa dan barang lainnya tidak
tertinggal di tubuh pasien dan pasien layak untuk di bawa ke unit pemulihan.
9
TATA
LAKSANA
A.
Penandaan
Area Operasi
1. Definisi
Merupakan suatu cara yang
dilakukan oleh ahli bedah untuk melakukan penandaan area operasi terhadap
pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan.
2.
Tujuan
Tujuan
dilakukannya penandaan area operasi meliputi;
a.
Meminimalkan risiko terjadinya
kesalahan pada tempat dilakukannya operasi dan pasien.
b.
Meminimalkan risiko terjaadinya kesalahan prosedur
operasi.
c.
Menginformasikan dan membimbing
ahli bedah operasi dalam hal metode yang digunakan pada proses penandaan tempat
operasi.
d.
Memastikan bagian tubuh (anatomi)
yang akan dilakukan tindakan operasi.
3.
Proses
a. Membuat Tanda
1)
Pada pasien yang akan dilakukan
tindakan operasi harus dilakukan penandaan area terlebih dahulu. Ketika proses
penandaan, pasien dilibatkan dalam keadaan terjaga/sadar dan sebaiknya proses
penandaan dilakukan sebelum induksi anestesi.
2)
Tanda yang digunakan berupa garis
panah yang menunjuk pada tempat area operasi dan dilakukan sedekat mungkin
dengan lokasi sayatan.
3)
Tanda yang dibuat harus
menggunakan spidol hitam permanen dan tidak terhapus/tetap terlihat setelah
dilakukan disinfeksi dan drapping.
4)
Tempat operasi yang diberi tanda
berupa prosedur yang melibatkan sayatan (permukaan kulit, spesifik digit/lesi,
lateral).
10
5)
Semua tanda yang dibuat harus
melihat catatan medis, identitas pasien dan hasil pencitraan pasien berupa :
sinar X, foto CT Scan, pencitraan elektronik, atau hasil tes lain yang sesuai,
untuk memastikan tingkat kebenaran pada proses penandaan.
b.
Siapa
yang memberi tanda
1)
Orang yang bertanggung jawab
dalam memberikan tanda pada pasien yang akan dilakukan prosedur operasi adalah
dokter yang akan melakukan tindakan/wakilnya.
2)
Jika pada proses penandaan
dilakukan oleh wakil/yang mewakili maka dokter yang melakukan tindakan operasi
harus hadir selama prosedur penandaan area tersebut.
c.
Pengecualian
penandaan area operasi
1)
Semua tindakan Endoskopi,
prosedur invasif yang direncanakan dianggap dibebaskan dari penandaan bedah .
Selain itu, penandaan tersebut tidak ada tanda yang telah ditentukan akses
bedahnya, seperti kateterisasi jantung dan prosedur invasif minimal lainnya,
akan dianggap dibebaskan. .
2)
Prosedur yang memiliki pendekatan
garis tengah yang dimaksudkan untuk satu organ tertentu yaitu operasi caesar,
histerektomi atau tyroidectomy, juga dapat dibebaskan dari penandaan operasi.
3)
Hal ini diakui bahwa tidak ada
cara praktis atau dapat diandalkan untuk menandai gigi atau selaput lendir,
terutama dalam kasus gigi yang direncanakan untuk ekstraksi. Sebuah tinjauan
catatan gigi dan radiografi dengan gigi / gigi harus dilakukan dan nomor
anatomi untuk ekstraksi jelas ditandai pada catatan-catatan dan radiografi.
4)
Daerah lain / bagian anatomis
secara teknis sulit untuk menandai daerah operasi meliputi bidang-bidang
seperti perineum, gembur kulit di sekitar penandaan dan neonatus atau bayi
prematur.
5)
Untuk luka atau lesi yang jelas,
penandaan area operasi tidak berlaku jika luka atau lesi adalah tempat
dilakukannya tindakan pembedahan. Namun, jika ada beberapa luka atau lesi dan
hanya beberapa dari luka /lesi tersebut yang dirawat maka penandaan area operasi
harus dilakukan sesegera mungkin setelah keputusan dibuat untuk tindakan
operasi.
11
6) Untuk lokasi tubuh manapun
yang tidak dilakukan penandaan, harus dilakukan peninjauan verifikasi pasien
dan prosedur di 'Time Out' yang merupakan bagian dari WHO Keselamatan
Checklist. Hal ini harus dilakukan bersamaan sesuai dengan dokumentasi yang
relevan, termasuk: catatan pasien, pencitraan diagnostik (terarah dengan
benar).
d. Instruksi spesifik Khusus (yang tidak
tercakup di atas)
1) Operasi Mata
Untuk operasi mata tunggal tanda
kecil harus dilakukan penandaan pada aspek lateral dari mata antara canthus
lateral dan telinga, menunjuk ke mata. Pengecualian adalah untuk prosedur
bilateral yang direncanakan pada kedua mata (seperti operasi juling bilateral),
tetapi laterality prosedur tersebut harus didokumentasikan dengan baik. Jika
tidak ada tanda yang dibuat, maka prosedur sebagaimana dimaksud pada c.6) harus ditaati.
2) Operasi Bilateral
Penandaan bilateral boleh
dilalakukan untuk memastikan lokasi operasi, tetapi sebenarnya prosedur
tindakan ini tidak diperlukan. Jika memang proses penandaan tidak dilakukan
maka prosedur sebagaimana dimaksud pada c.6)
harus ditaati.
3) Operasi THT
Penandaan pada kulit yang akan
dilakukan incise sangat tepat, tetapi tindakan ini tidak tepat pada bagian
mukosa atau jaringan didalam (THT) misalnya tindakan tonsilektomi bilateral /
adenoidectomy, laryngectomy. Dalam kasus ini c.2) / c.3) / c.6) berlaku. Untuk penandaan area bedah (THT) di
mana sayatan kulit dibuat pada operasi yaitu sisi tertentu tympanotomy dan sisi
bedah harus ditandai dengan garis yang sesuai
4) Bedah Digital
Setiap digit yang dilakukan tindakan operasi harus
memiliki tanda sedekat mungkin ke daerarah operasi.
5) Anestesi local/ blok prosedur
Tempat prosedur dilakukan tindakan anestesi
terutama pada blok lokal harus ditandai sebelum pasien diberikan anestesi umum
12
(jika ada yang harus diberikan)
oleh dokter anestesi. Tanda yang dibuat menggunakan spidol biru permanen, yang
berfungsi sebagai pembeda antara tanda yang diberikan oleh dokter bedah.
B.
Surgical
Safety Checklist
1. Definisi
Merupakan suatu daftar periksa yang digunakan untuk
memperkuat keselamtan pasien.
2.
Tujuan
Tujuan checklist ini dimaksudkan
sebagai alat yang digunakan oleh tim bedah (dokter bedah, dokter anestesi,
perawat) dalam meningkatkan keselamatan pasien pada proses operasi dan
mengurangi resiko infeksi yang tidak perlu/kematian.
3.
Cara
Menggunakan Checklist
Dalam menggunakan checklist ini,
tim operasi harus terdiri dari dokter bedah, dokter anestesi, perawat
(assistant, scrub nurse, circulation nurse) teknisi dan personel kamar operasi
yang lain. Semua anggota tim operasi berperan dalam memastikan keamanan dan
keberhasilan operasi.
Dalam rangka menerapkan checklist selama operasi,
maka satu orang ditunjuk sebagai koordinator yang bertanggung jawab untuk
melakukan pemeriksaan keamanan pada daftar ini. koordinator Checklist yang
ditunjuk berupa perawat sirkulasi/dokter yang berpartisipasi dalam operasi
tersebut. Checklist yang digunakan terbagi dalam 3 tahap yaitu:
a. Sign in
(sebelum induksi anestesi)
b. Sebelum
dilakukan incise ( time out)
c.
Sign out (periode selama atau
segera setelah penutupan luka, tetapi sebelum mengeluarkan pasien dari ruang
operasi).
Dalam setiap tahap koordinator
Checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa tim telah menyelesaikan
tugasnya sebelum melanjutkan ketahap berikutnya. Semua langkah harus diperiksa
secara
13
verbal dengan anggota tim yang tepat untuk memastikan bahwa
tindakan-tindakan utama telah dilakukan.
4.
Cara Menjalankan Checklist Secara Rinci a. Sign in ( sebelum induksi anestesi )
Pemeriksaan keselamatan pasien
pada tahap ini harus terselesaikan sebelum dilakukan induksi anestesi. Hal ini
setidaknya membutuhkan kehadiran personel anestesi dan perawat . coordinator
checklist yang telah ditunjuk dapat menyelesaikan bagian ini sekaligus secara
berurutan.
Rincian
langkah pada tahap ini yaitu :
1)
Apakah pasien telah dikonfirmasi identitas, tempat, prosedur dan
persetujuan?
Koordinator Checklist secara
lisan menegaskan identitas pasien, jenis prosedur yang direncanakan, tempat
operasi dan persetujuan operasi telah diberikan. Walaupun mungkin tampak
berulang-ulang, langkah ini sangat penting untuk memastikan bahwa tim tidak
melakukan tindakan operasi pada pasien, tempat, dan prosedur tindakan yang
salah. Ketika konfirmasi oleh pasien tidak mungkin, seperti dalam kasus
anak-anak atau pasien tidak mampu, wali atau anggota keluarga dapat memberikan
konfirmasi. Jika anggota wali dan keluarga tidak bersedia atau jika langkah ini
dilewati, seperti dalam keadaan darurat, tim harus memahami mengapa tindakan
ini dikerjakan dan semua berada dalam perjanjian.
1) Apakah
tempat ditandai?
Koordinator Checklist harus
mengkonfirmasi bahwa ahli bedah yang melakukan operasi telah menandai tempat
bedah (biasanya dengan spidol felt-tip permanen) dalam kasus yang melibatkan
laterality (perbedaan kiri atau kanan) atau struktur beberapa atau tingkat
(misalnya jari kaki, khususnya , lesi kulit, vertebra). Tempat tanda untuk struktur
garis tengah (misalnya tiroid) atau tructures tunggal (misalnya limpa) harus
mengikuti tradisi
14
setempat. Konsisten dalam
memberikan tanda pada semua kasus dan mengkonfirmasikan tempat yang benar .
2) apakah
mesin anestesi dan obat-obat telah lengkap?
Koordinator Checklist melengkapi
langkah berikutnya dengan meminta dokter anestesi untuk memverifikasi
penyelesaian pemeriksaan keamanan anestesi, pemeriksaan berupa peralatan
anestesi, sirkuit pernafasan, obat-obatan dan risiko obat anestesi pada pasien.
Disamping mengkonfirmasikan bahwa pasien sesuai untuk operasi, tim anestesi
harus menyelesaikan ABCDE, dengan melakukan pemeriksaan peralatan Airway,
Breathing sistem (termasuk oksigen dan agen inhalasi), Suction, Obat dan Alat
Darurat. Apabila peralatan dan obat telah tersedia dan berfungsi dengan baik
maka lakukanlah konfirmasi.
3)
Apakah pulse oksimetry pada pasien telah berfungsi? Koordinator Checklist menegaskan bahwa pulse oksimeter
telah ditempatkan pada pasien dan berfungsi dengan
benar sebelum induksi anestesi. Idealnya pembacaan pulse oximetry harus
terlihat oleh tim operasi. Sebuah sistem terdengar harus digunakan untuk
mengingatkan tim untuk denyut nadi pasien dan saturasi oksigen. Jika pulse
oksimeter tidak berfungsi dengan baik maka ahli bedah dan dokter anestesi harus
mengevaluasi kondisi pasien dan mempertimbangkan penundaan tindakan operasi.
Namun dalam keadaan mendesak untuk menyelamatkan nyawa atau ekstremitas pasien,
persyaratan ini bisa dicabut, dan tim harus setuju tentang perlu atau tidaknya
untuk melanjutkan operasi tersebut.
4) Apakah
pasien memiliki alergi?
Koordinator Checklist harus
memberikan dua pertanyaan kepada dokter anestesi. Pertama, koordinator harus
menanyakan apakah pasien memiliki alergi, jika demikian, apa jenis alerginya.
Jika koordinator mengetahui alergi yang dokter anestesi tidak menyadari,
informasi ini harus dikomunikasikan.
15
Koordinator Checklist secara
lisan harus mengkonfirmasi bahwa tim anestesi secara obyektif telah menilai
apakah pasien memiliki jalan nafas yang sulit. Ada beberapa cara untuk menilai
saluran napas (seperti nilai Mallampati, jarak thyromental, atau Bellhouse-Doré
skor). Kematian karena kehabisan napas selama anestesi masih bencana umum
global tetapi dapat dicegah dengan perencanaan yang tepat. Jika evaluasi
menunjukkan resiko tinggi terhadap kesulitan jalan nafas (seperti skor
Mallampati dari 3 atau
4), maka tim anestesi harus mempersiapkan proses
penangannya. proses Ini minimal menggunakan pendekatan tehnik anestesi
(misalnya, dengan menggunakan anestesi regional, jika mungkin) dan menyiapkan
peralatan darurat. Jika asisten anestesi / ahli bedah / tim keperawatan mampu,
dianjurkan untuk membantu dengan induksi anestesi. Risiko aspirasi juga harus
dievaluasi sebagai bagian dari penilaian jalan napas. Jika pasien memiliki
gejala refluks aktif atau perut penuh, dokter anestesi harus mempersiapkan
kemungkinan aspirasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan memodifikasi rencana
anestesi, misalnya menggunakan teknik induksi cepat dan meminta bantuan kepada
asisten untuk memberikan tekanan krikoid selama induksi. Untuk pasien yang
memiliki kesulitan jalan nafas atau berada pada risiko aspirasi, induksi
anestesi harus dimulai hanya ketika dokter anestesi menegaskan bahwa ia
memiliki peralatan yang memadai dan bantuan yang berada di samping tempat tidur
pasien (meja operasi).
6) Apakah
pasien memiliki resiko kehilangan darah > 500 ml (7 ml
/ kg pada anak-anak?
Koordinator Checklist meminta tim
anestesi dengan menanyakan apakah pasien memiliki resiko kehilangan darah lebih
dari 500 ml selama operasi? Dimaksudkan untuk menjamin persiapan tindakan
operasi. Volume kehilangan darah yang besar adalah salah satu bahaya yang paling
umum dan penting bagi pasien bedah, dengan resiko shock hipovolemik meningkat
ketika
16
kehilangan darah melebihi 500 ml
(7 ml / kg pada anak-anak). Persiapan yang memadai dan resusitasi dapat
mengurangi konsekuensi ini. Ahli bedah mungkin tidak konsisten dalam
mengkomunikasikan resiko kehilangan darah. Oleh karena itu, jika dokter
anestesi tidak tahu apakah terdapat resiko kehilangan darah, ia harus
mendiskusikan dengan dokter bedah sebelum operasi dimulai. Jika ada risiko
kehilangan darah yang signifikan lebih besar dari 500 ml, sangat disarankan
untuk pemasangan dua jalur infuse yang besar atau kateter vena sentral
ditempatkan sebelum insisi kulit. Selain itu, tim harus mengkonfirmasi
ketersediaan cairan atau darah untuk resusitasi. (Perhatikan bahwa kehilangan
darah diharapkan akan ditinjau kembali oleh ahli bedah sebelum sayatan kulit
ini akan memberikan tingkat keamanan kedua.
Pada tahap ini selesai, tim dapat melanjutkan
dengan induksi anestesi.
b. Time Out (sebelum dilakukan incise)
Pemeriksaan keselamatan pasien
pada tahap ini harus terselesaikan sebelum dilakukan incise pada kulit. Hal ini
membutuhkan kehadiran semua personel tim bedah. Sebelum dilakukan tindakan
incise coordinator checklist yang telah ditunjuk dapat menyelesaikan bagian ini
dengan meminta waktu jeda untuk mengkonfirmasi tahap ini secara berurutan.
Rincian
langkah pada tahap ini yaitu :
1)
Konfirmasi semua anggota tim telah menyebutkan nama dan peran
masing-masing
Anggota tim operasi dapat sering
berubah. Manajemen yang efektif dari situasi seperti ini adalah dengan membuat
sebuah pengantar yang sederhana yaitu dengan meminta setiap orang di ruangan
untuk memperkenalkan dirinya dengan nama dan peran masing-masing yang dilakukan
oleh coordinator Checklist.
2)
Konfirmasikan nama pasien, prosedur dan area yang akan dilakukan
tindakan pembedahan
Coordinator checklist meminta
semua orang di ruang operasi untuk tenang dan secara lisan akan mengkonfirmasi
nama, prosedur
17
dan tempat operasi dilakukan
untuk menghindari operasi pada pasien yang salah atau tempat yang salah.
Misalnya, coordinator checklist mengumumkan, "Sebelum kita membuat sayatan
kulit", dan kemudian melanjutkan, "Apakah semua orang setuju bahwa
ini adalah X pasien, mengalami perbaikan hernia inguinalis yang tepat?" semua
tim harus sepakat dalam mengkonfirmasi pasien ini. Jika pasien tidak dibius,
akan sangat membantu sekali dalam proses konfirmasi.
3)
Apakah antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit terakhir?
Untuk mengurangi resiko infeksi
bedah, koordinator akan bertanya dengan suara keras apakah antibiotik
profilaksis diberikan selama 60 menit sebelumnya. Para anggota tim yang
bertanggung jawab untuk antibiotik harus memberikan konfirmasi secara verbal.
Jika antibiotik profilaksis belum diberikan, maka harus diberikan sekarang,
sebelum insisi. Apabila antibiotik profilaksis telah diberikan lebih dari 60
menit sebelumnya, maka antibiotik profilaksis tidak dianggap tepat (misalnya
kasus tanpa sayatan kulit, kasus terkontaminasi di mana antibiotik diberikan untuk
pengobatan).
4)
Peristiwa
penting
Komunikasi tim yang efektif dan
kerja tim yang efisien merupakan komponen utama dari keselamatan pasien
operasi. Untuk memastikan komunikasi yang efektif mengenai status pasien , maka
koordinator checklist harus memimpin diskusi cepat dengan ahli bedah, staf
anestesi dan staf perawat dari bahaya yang diakibatkan oleh tindakan operasi.
Hal ini dapat dilakukan dengan meminta setiap anggota tim untuk bertanya.
Selama prosedur tindakan hanya rutinitas dan seluruh tim saling mengenal, ahli
bedah hanya dapat menyatakan, "Ini adalah kasus rutinitas, X durasi"
18
a)
Untuk dokter bedah : apa langkah-langkah kritis atau non-rutin? Berapa
lama akan terjadi mengambil? Apa kehilangan darah yang diantisipasi?
Sebuah
diskusi tentang "prosedur yang sulit (kritis) atau
non-rutin" dimaksudkan untuk menginformasikan
kepada anggota tim mengenai langkah yang akan dilakukan pada pasien beresiko
kehilangan darah yang cepat, cedera atau morbiditas utama lainnya. Ini juga
merupakan kesempatan untuk meninjau langkah-langkah yang mungkin memerlukan
peralatan khusus, implan atau persiapan.
b) Untuk anestesi: apakah ada pasien-masalah
spesifik?
Pada pasien yang beresiko
kehilangan darah ,ketidakstabilan hemodinamik atau morbiditas besar lainnya
karena prosedur, anggota tim anestesi harus meninjau keras rencana spesifik
untuk resusitasi, dan menggunakan produk darah. Hal ini dapat dipahami karena
setiap operasi banyak mengandung resiko yang sangat besar. Jika prosedur
operasi tidak memiliki perhatian yang spesifik dokter anestesi hanya bisa
mengatakan, "Saya tidak memiliki perhatian khusus mengenai kasus ini.
c)
Untuk tim keperawatan: telah kemandulan (termasuk hasil indikator) telah
dikonfirmasi? Apakah ada peralatan isu atau masalah?
Perawat instrument yang
menyiapkan peralatan untuk tindakan operasi harus mengkonfirmasi secara lisan
bahwa instrument yang disterilisasi telah sukses. Setiap hasil yang diharapkan
terhadap indikator sterilitas yang sebenarnya harus dilaporkan kepada seluruh
anggota tim dan ditangani sebelum sayatan. Ini juga merupakan kesempatan untuk
mendiskusikan masalah pada peralatan dan persiapan lainnya.. Jika tidak ada
masalah tertentu pada sterilitas instrument/teknologinya (autoclave), maka
perawat instrument cukup mengatakan, "Sterility telah diverifikasi dan
saya tidak memiliki masalah khusus. "
19
Pencitraan sangat penting untuk
memastikan tempat dimana dilakukan tindakan operasi, termasuk ortopedi,
prosedur tulang belakang, dada dan reseksi tumor banyak. Sebelum dilakukan
tindakan insisi kulit, koordinator harus menanyakan kepada dokter bedah apakah
pencitraan pada kasus ini diperlukan? jika demikian, maka koordinator checklist
secara lisan harus mengkonfirmasikan bahwa pencitraan didalam ruangan harus
ditampilkan secara jelas dan benar untuk digunakan selama prosedur operasi.
Jika pencitraan diperlukan tetapi tidak tersedia, maka harus diperoleh. Dokter
bedah akan memutuskan apakah akan melanjutkan operasi tanpa pencitraan.
Pada
tahap ini selesai dan tim dapat melanjutkan dengan incise kulit.
c. Sign
out (Sebelum pasien meninggalkan ruang operasi
Sebelum pasien meninggalkan ruang
operasi pemeriksaan keamanan harus diselesaikan. Tujuannya adalah untuk
memfasilitasi transfer informasi penting kepada tim perawatan yang bertanggung
jawab untuk pasien setelah tindakan operasi. Pemeriksaan dapat dimulai oleh
ahli bedah, anestesi atau perawat circuler dan harus dilakukan sebelum dokter
bedah meninggalkan ruangan. Hal ini dapat bertepatan pada penutupan luka.
Rincian
langkah pada tahap ini yaitu :
1)
Perawat secara lisan menegaskan nama prosedur
Karena prosedur mungkin telah
berubah atau diperluas selama operasi, Koordinator Checklist harus
mengkonfirmasikan dengan ahli bedah dan tim apa prosedur yang dilakukan. Hal
ini dapat dilakukan sebagai pertanyaan, "Apa prosedur yang
dilakukan?" Atau sebagai konfirmasi, "Kami melakukan prosedur X, yang
benar?"
2)
Penyelesaian jumlah instrumen, spons dan jarum
Jumlah instrumen, spons dan jarum
adalah kesalahan biasa, tapi berpotensi bencana. Perawat instrument dan perawat
sirculer secara lisan harus mengkonfirmasi kelengkapan instrument, spons dan
20
jumlah jarum. Jika ditemukan
jumlah yang tidak tepat maka tim harus waspada sehingga dapat diambil langkah
yang sesuai, seperti memeriksa linen, sampah dan luka atau, jika perlu, lakukan
foto radiografi.
3) Pelabelan spesimen
Pelabelan yang salah pada
spesimen patologis dapat berpotensi bencana bagi pasien, dan telah terbukti
menjadi sumber kesalahan laboratorium. Perawat Circulasi harus mengkonfirmasi
label yang benar dari setiap spesimen patologis yang diperoleh selama prosedur
operasi dengan membaca nama pasien, deskripsi spesimen dan setiap tanda
orientasi dengan suara keras.
4) Apakah ada masalah peralatan yang harus
ditangani
Masalah peralatan bersifat
universal di kamar operasi. peralatan yang tidak berfungsi dengan baik dapat
didaur ulang, supaya dapat digunakan kembali. Koordinator harus memastikan
bahwa masalah peralatan yang timbul selama operasi dapat diidentifikasi oleh
tim.
5)
Ahli bedah, ahli anestesi dan perawat meninjau kembali mengenai rencana
pemulihan dan pengelolaan bagi pasien
Dokter bedah, dokter anestesi dan
perawat harus meninjau rencana pemulihan pasca-operasi, focus perencanaan
pemulihan pada isu-isu intraoperatif atau anestesi yang mungkin mempengaruhi
status kesehatan pasien.
Dengan ini langkah terakhir Checklist pasien
selesai. Jika diinginkan, Checklist dapat ditempatkan dalam catatan pasien atau
ditahan untuk diperiksa kualitasnya.
21
DOKUMENTASI
A.
PENANDAAN
AREA OPERASI
1.
Setiap pasien yang akan dilakukan
tindakan pembedahan/operasi harus dilakukan penandaan lokasi operasi dengan
menggunakan suatu tanda yang jelas, terlihat sampai saat akan diinsisi.
2.
Orang yang bertanggung jawab
untuk membuat tanda pada pasien yang akan dilakukan tindakan operasi adalah
dokter bedah yang akan melakukan pembedahan/wakil ( dokter bedah harus
menyaksikan secara langsung pada proses penandaannya).
3.
Penandaan area operasi dilakukan
sebelum tindakan induksi anestesi ( rawat inap, poli rawat jalan, persiapan
kamar operasi/ di meja operasi ).
4.
Bentuk penandaan area operasi
berupa panah menunjuk, dilakukan sedekat mungkin pada daerah yang akan
dilakukan tindakan incisi.
5.
Tanda yang dibuat menggunakan
spidol hitam permanen, tidak dapat terhapuskan dan harus tetap terlihat setelah
persiapan kulit dan drapping.
6. Penandaan
yang digunakan untuk semua prosedur operasi.
7.
Semua tanda yang dibuat harus
melihat catatan medis, identitas pasien dan hasil pencitraan pasien berupa :
sinar X, foto CT Scan, pencitraan elektronik, atau hasil tes lain yang sesuai,
untuk memastikan tingkat kebenaran pada proses penandaan.
8. Pengecualian
untuk penandaan area operasi:
a.
Semua tindakan Endoskopi,
prosedur invasif yang direncanakan dianggap dibebaskan dari penandaan bedah .
Selain itu, penandaan tersebut tidak ada tanda yang telah ditentukan akses
bedahnya, seperti kateterisasi jantung dan prosedur invasif minimal lainnya,
akan dianggap dibebaskan. .
b.
Prosedur yang memiliki pendekatan
garis tengah yang dimaksudkan untuk satu organ tertentu yaitu operasi caesar,
histerektomi atau tyroidectomy, juga dapat dibebaskan dari penandaan operasi.
c.
Hal ini diakui bahwa tidak ada
cara praktis atau dapat diandalkan untuk menandai gigi atau selaput lendir,
terutama dalam kasus gigi yang direncanakan untuk ekstraksi. Sebuah tinjauan
catatan gigi dan radiografi
22
dengan gigi / gigi harus dilakukan dan nomor anatomi untuk ekstraksi
jelas ditandai pada catatan-catatan dan radiografi.
d. Daerah lain / bagian anatomis secara teknis
sulit untuk dilakukan penandaan area operasi meliputi bidang-bidang seperti
perineum, gembur kulit di sekitar penandaan dan neonatus atau bayi prematur.
e.
Untuk luka atau lesi yang jelas,
penandaan area operasi tidak berlaku jika luka atau lesi adalah tempat
dilakukannya tindakan pembedahan. Namun, jika ada beberapa luka atau lesi dan
hanya beberapa dari luka /lesi tersebut yang dirawat maka penandaan area
operasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah keputusan dibuat untuk
tindakan operasi.
f.
Untuk lokasi tubuh manapun yang
tidak dilakukan penandaan, harus dilakukan peninjauan verifikasi pasien dan
prosedur di 'Time Out' yang merupakan bagian dari WHO Keselamatan Checklist.
Hal ini harus dilakukan bersamaan sesuai dengan dokumentasi yang relevan,
termasuk: catatan pasien, pencitraan diagnostik (terarah dengan benar).
9.
Instruksi Specifik ( yang tidak
tercakup pada pengecualian penandaan area operasi).
a. Operasi Mata
Untuk operasi mata tunggal tanda kecil harus
dilakukan penandaan pada aspek lateral dari mata antara canthus lateral dan
telinga, menunjuk ke mata. Pengecualian adalah untuk prosedur bilateral yang
direncanakan pada kedua mata (seperti operasi juling bilateral), tetapi
laterality prosedur tersebut harus didokumentasikan dengan baik. Jika tidak ada
tanda yang dibuat, maka prosedur sebagaimana dimaksud pada 1.8.f harus ditaati.
b. Operasi Bilateral
Penandaan bilateral boleh dilalakukan untuk
memastikan lokasi operasi, tetapi sebenarnya prosedur tindakan ini tidak
diperlukan. Jika memang proses penandaan tidak dilakukan maka prosedur
sebagaimana dimaksud pada 8.f harus
ditaati.
c. Operasi THT
Penandaan pada kulit yang akan dilakukan incise
sangat tepat, tetapi tindakan ini tidak tepat pada bagian mukosa atau jaringan
didalam (THT) misalnya tindakan tonsilektomi bilateral / adenoidectomy,
laryngectomy.
23
Dalam kasus ini 8.b / 8.c / 8.f berlaku. Untuk
penandaan area bedah (THT) di mana sayatan kulit dibuat pada operasi yaitu sisi
tertentu tympanotomy dan sisi bedah harus ditandai dengan tanda yang telah
ditentukan.
d. Bedah Digital
Setiap digit yang dilakukan tindakan operasi harus memiliki tanda
sedekat mungkin ke daerarah operasi.
e. Anestesi local/ blok prosedur
Tempat prosedur dilakukan tindakan anestesi terutama pada blok lokal harus ditandai sebelum pasien
diberikan anestesi umum (jika ada yang harus diberikan) oleh dokter anestesi.
Tanda berupa titik
pusat sebagai
titik masuknya jarum berada
didalam lingkaran dan
dibuat menggunakan spidol biru permanen, yang
berfungsi sebagai pembeda antara tanda yang dibuat oleh dokter Anestesi dan
dokter bedah.
B.
SURGICAL
SAFETY PROSEDUR
1.
Setiap pasien yang akan dilakukan
tindakan pembedahan harus dilakukan verifikasi mengenai ketepatan lokasi,
prosedur dan pasien oleh tim kamar bedah (ahli anestesi, ahli bedah dan
perawat) dengan menggunakan checklist safety surgery yang terdiri dari:
a. Sebelum
induksi anestesi (Sign in)
b. Sebelum
insisi pembedahan (Time out)
c. Sebelum
penutupan luka (Sign out)
2. Penilaian
sebelum induksi anestesi (Sign in)
a.
Pastikan bahwa identitas pasien,
tempat operasi dan prosedur bedah serta informed consent telah sesuai dan
dipenuhi.
b. Pastikan
bahwa tempat operasi telah ditandai dengan benar
c.
Pastikan bahwa hal-hal yang
berhubungan dengan pelaksanaan anestesi (peralatan, obat, koneksi alat, dsb)
dalam keadaan benar dan baik.
d.
Pastikan bahwa pulse oximeter
telah berada pada pasien dan berfungsi dengan baik
e. Pastikan
bahwa pasien :
1) Tidak
memiliki riwayat alergi
24
3)
Adakah risiko kehilangan darah
> 500 cc pada pasien dewasa dan 7 cc/KgBB pada anak selama proses operasi
3. Penilaian
Sebelum insisi pembedahan (Time out)
a.
Setiap anggota tim telah
memperkenalkan diri dan perannya terlebih dahulu.
b.
Dokter bedah, anestesi dan
perawat secara verbal telah memastikan kebenaran dalam hal identitas pasien,
tempat operasi dan prosedur yang akan dilakukan.
c.
Dokter bedah dan tim dapat
memperkirakan dan mengantisipasi hal hal yang dapat terjadi selama prosedur
pembedahan, seperti : risiko perdarahan, lama operasi dan langkah- langah yang
perlu diambil untuk mengatasi masalah yang timbul selama proses operasi
d.
Dokter anestesi dapat
memperkirakan dan mengantisipasi terhadap keadaan spesifik pasien (pasien
obesitas)
e.
Perawat dapat menjamin terhadap
sterilitas alat, kebutuhan peralatan dan instrument yang diperlukan selama
operasi
f.
Mengevaluasi kembali perlukan
pasien mendapatkan antibiotic profilaksis dalam 60 menit sebelum operasi
g.
Melihat kembali penunjang
diagnostic dalam hal ini imaging telah tersedia dan telah sesuai dengan
identitas pasien dan tempat lesi.
4. Sebelum
penutupan luka (Sign out)
a.
Secara verbal perawat dalam tim
bedah telah menuliskan nama prosedur pembedahan
b.
Menjamin bahwa instrument bedah,
kasa dan jarum telah sesuai dan tidak tertinggal di dalam tubuh pasien
c.
Menjamin bahwa specimen (patologi
anatomi) telah dikemas dan diberi label secara benar
d.
Menjamin bahwa tidak akan terjadi
gangguan alat medis dan kebutuhan lainnya dalam proses transport pasien menuju
ruang pemulihan atau
PACU
e.
Menjamin bahwa dokter bedah,
anestesi dan perawat telah meninjau hal hal yang diperlukan yang berhubungan
dengan proses pemulihan pasien.
25
5.
Surgical safety prosedur ini (sign in, time out
dan sign) berlaku juga diluar kamar
operasi pada pasien yang dilakukan tindakan invasive, unit tersebut adalah:
a. UGD
b. SEC
c. ICU
d. Poli
Bedah Rawat Jalan
e. Poli Gigi
C.
SPO
1.
SPO Penandaan Area Operasi
2.
SPO Pengisian Surgical Patient Safety Checklist
D.
FORM
Surgical
Safety Checklist
E.
INDIKATOR
1.
Indikator
berdasarkan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Untuk mengukur kinerja pelayanan
bedah digunakan indikator bedah sentral sesuai dengan rekomendasi DirJen Bina
Pelayanan Medik DepKes RI 2008 (Indikator klinis pelayanan bedah dan anestesi,
DepKes, 2008) :
a. Waktu
tunggu operasi elektif ≤ 2 hari
Adalah tenggang waktu mulai dokter memutuskan untuk operasi yang
terencana sampai dengan operasi mulai dilaksanakan.
b. Kejadian
kematian di meja operasi ≤ 1%
Adalah kemataian yang terjadi di atas meja operasi
pada saat operasi berlangsung yang diakibatkan oleh tindakan anestesi maupun
tindakan pembedahan.
c. Tidak
adanya kejadian operasi salah sisi 100%
Adalah kejadian dimana pasien dioperasi pada sisi
yang salah, misalnya yang semestinya dioperasi pada sisi kanan, ternyata yang
dilakukan operasi adalah pada sisi kiri atau sebaliknya.
d. Tidak ada
kejadian operasi salah orang 100%
Adalah
kejadian dimana pasien dioperasi pada orang yang salah.
26
Adalah kejadian pasien mengalami tindakan operasi yang tidak sesuai
dengan yang direncanakan.
f.
Tidak adanya kejadian
tertinggalnya benda asing/lain pada tubuh pasien setelah operasi 100%.
Adalah kejadian dimana benda asing seperti kassa, gunting, peralatan
operasi dalam tubuh pasien akibat suatu pembedahan.
g.
Komplikasi anestesi karena
overdosis, reaksi anestesi dan salah penempatan endotracheal tube ≤ 6% Adalah
kejadian yang tidak diharapkan sebagai akibat komplikasi anestesi antara lain
karena overdosis, reaksi anestesi dan salah penempatan endotracheal tube.
2. Indikator yang ditetapkan Rumah Sakit
Rumah Sakit menetapkan beberapa
hal yang dijadikan sebagai sasaran mutu kamar bedah yang memuat tiga (3) faktor
yaitu faktor klinis, faktor manajemen dan faktor patient safety.
Untuk faktor manejemen pasient
safety sudah masuk di dalam indikator standar pelayanan minimal rumah sakit
seperti yang tersebut di atas.
a.
Faktor Klinis Waktu operasi
Adalah
angka kejadian tertundanya operasi lebih dari 2 jam
b. Faktor
Manejemen
1)
keterlambatan waktu kedatangan
dokter bedah lebih dari 20 menit pada operasi elektif.
Adalah angka kejadian keterlambatan dokter bedah
> dari 20 menit dari jadwal yang telah ditetapkan saat pendaftaran
penjadwalan operasi.
2) Penandaan
daerah operasi oleh dokter bedah.
Adalah angka kejadian di mana pasien operasi yang
harus mendapatkan penandaan pada daerah operasi oleh dokter bedah tetapi tidak
di lakukan.
3) Visite
pre anestesi oleh dokter anestesi.
Adalah angka kejadian di mana dokter anestesi tidak melakukan visite pre
anestesi.
27
Adalah angka kejadian di mana tim bedah tidak
melakukan verifikasi daftar tilik keselamatan pasien sesuai dengan fase nya
(sign in, time out, dan sign out)
F.
SISTEM
PELAPORAN
1.
Kamar operasi melakukan
pencatatan dan pelaporan yang meliputi : kejadian nyaris cedera (KNC), kejadian
yang tidak diharapkan (KTD) dan sentinel events yang terjadi selama di kamar
bedah
2.
Pencatatan dan pelaporan insiden
mengacu pada Buku Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien yang dikeluarkan
oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
3.
Kamar operasi membuat formulir
pelaporan, buku register insiden dan formulir rekapitulasi insiden
4. Hal yang
dilaporkan
a.
Kejadian nyaris cedera
b.
Kejadian tidak diharapkan
c.
Sentinel events
d.
Indikator keselamatan pasien
5. Waktu
pelaporan :
a.
Setiap terjadi KTD dilaporkan ke Tim KPRS dalam
waktu 24 jam
b.
Indikator keselamatan pasien dilaporkan setiap
bulan ke Tim KPRS.
28
PENUTUP
Demikianlah panduan ini disusun
sebagai pedoman dalam menjalankan layanan bedah yang aman khususnya dalam
rangka mencegah salah sisi, prosedur dan pasien yang menjalani tindakan
operasi.
Panduan ini masih jauh dari
sempurna, oleh sebab itu panduan akan dievaluasi kembali setiap 2 sampai 3
tahun sesuai dengan tuntutan layanaan dan standar akreditasi baik akreditasi
Nasional 2012 maupun standar Internasional.
0 Response to "PEMBERLAKUAN PANDUAN SURGICAL SAFETY SURGERY RUMAH SAKIT "
Posting Komentar