PANDUAN DO NO RESUCITATE (DNR) RUMAH SAKIT

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 
TENTANG
PANDUAN DO NO RESUCITATE (DNR) RUMAH SAKIT 
DIREKTUR RUMAH SAKIT 



MENIMBANG :
1. bahwa untuk memenuhi kebutuhan pelayanan observasi, perawatan dan terapi pasien yang menderita penyakit yang
2. Bahwa rumah sakit perlu menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan secara bertahap melalui upaya program peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.
3. Bahwa rumah sakit harus memenuhi elemen-elemen yang dipersyaratkan dalam standar Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas perlu ketetapan Direksi tentang Panduan Do Not Resucitate (DNR) di RS


MENGINGAT :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/Menkes/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan


M E M U T U S K A N :
MENETAPKAN :
KESATU : Panduan Do Not Resucitate (DNR) Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.
KEDUA : Peninjauan ulang mengenai isi dari kebijakan ini akan dilakukan 2 (dua) tahun setelah tanggal kebijakan ini disetujui.
KETIGA : Apabila hasil peninjauan mensyaratkan adanya perbaikan maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya


Ditetapkan di :
Tanggal :
RUMAH SAKIT



Direktur Utama


TEMBUSAN Yth :
1. Manajer Keperawatan
2. Kepala Instalasi ICU
3. Arsi



LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR :
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Resusitasi Jantung-Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi.

RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya telah dibentuk tim khusus yang terlatih dan berpengalaman dalam melakukan RJP. Menurut statistik, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar kematian pasien yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Proporsi dari tindakan RJP ini dianggap berhasil dalam merestorasi fungsi kardiopulmoner pasien.

Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3-nya berhasil, dan 1/3 dari pasienpasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah sakit. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada sifat dan derajat penyakit pasien. Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang telah bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit. Diantara pasien gagal ginjal, hanya 2% yang bertahan hidup sampai pulang dari rumah sakit.

Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal sebelum pulang dari rumah sakit, hampir selalu dirawat di Ruang Rawat Intensif (Intensive Care Unit-ICU). Pada suatu studi lainnya menyatakan bahwa sekitar 11% pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial akan mengalami RJP ulang minimal 1 (satu) kali selama masa perawatan di rumah sakit. Biasanya pasien RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit tidak mengalami gangguan/ disfungsi yang berat.

Suatu studi menyatakan bahwa 93% dari pasien-pasien ini memiliki orientasi yang baik saat dipulangkan dari rumah sakit. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP; beberapa diantaranya berhasil mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi memiliki masalah kesehatan dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi henti jantung/ napas, beberapa mengalami kerusakan/ cedera otak atau koma, dan beberapa lainnya jatuh kembali ke dalam kondisi henti jantung / napas sehingga harus dilakukan RJP ulang.

Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada penyebab terjadinya henti jantung / napas pada pasien, penyakit/ masalah medis yang mendasari, serta kondisi kesehatan pasien secara umum. Seringnya, pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi yang sakit dan membutuhkan penanganan lebih lanjut, dan biasanya dirawat di ICU.

Penting untuk mengidentifikasi pasien di mana terjadinya henti napas dan jantung menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan di mana usaha RJP tidak akan membuahkan hasil (sia-sia).

Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini harus dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan profesional di tingkat primer, rumah sakit, dan petugas / tim transfer intra- dan antar-rumah sakit. Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin dikarenakan pasien berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas hidup yang buruk. Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotik, nutrisi parenteral, dan sebagainya.

Angka kelangsungan hidup pasien dewasa (survival rates) yang dilakukan RJP dan pulang dari rumah sakit sekitar 5-20 %, dan telah terbukti bahwa usaha RJP akan lebih baik jika akses ke Tim Resusitasi / Unit Gawat Darurat dilakukan lebih awal (segera), pemberian bantuan hidup dasar lebih awal, dan pemberian bantuan hidup lanjut lebih awal.

Beberapa pasien memiliki angka kelangsungan hidup yang sangat rendah (< 1-2%), misalnya pada pasien dengan infeksi berat, tekanan darah rendah dalam jangka waktu lama, gagal ginjal/ jantung yang berat, atau keganasan dengan penyebaran luas (metastasis). Angka kelangsungan hidup pasien anak yang mengalami henti jantung/ napas di rumah sakit adalah rendah. Namun jika ditangani dengan tepat dan segera, memiliki angka keberhasilan sebesar 70%. Angka kelangsungan hidup pasien anak yang mengalami henti jantung/ napas di luar rumah sakit masih di bawah 10%. Pada umumnya, anak-anak yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit mengalami defisit neurologi.


B. Tujuan
1. Untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan Do Not Resuscitate (DNR) tidak disalahartikan/ misinterpretasi.
2. Untuk memastikan terjadinya komunikasi dan pencatatan yang jelas dan terstandarisasi mengenai pengambilan keputusan DNR.


BAB II
DEFINISI DAN TATA LAKSANA

A. Definisi
1. Henti jantung adalah suatu kondisi di mana terjadi kegagalan jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical activity (PEA). Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (< 3 menit setelah kejadian henti jantung). Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil dilatasi maksimal; hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan tindakan resusitasi.

2. Resusitasi Jantung-Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk: pasien yang tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi; dan tidak tertulis instruksi DNR di rekam medisnya.


3. Tindakan Do Not Resuscitate (DNR) adalah suatu tindakan di mana jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, paramedis tidak akan dipanggil dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut. Jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmen segera untuk mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, patensi jalan napas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut. DNR tidak berarti semua tatalaksana/ penanganan aktif terhadap kondisi pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.

4. Fase/ kondisi terminal penyakit adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera atau penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya tidak dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktu yang singkat, dan di mana pengaplikasian terapi untuk memperpanjang / mempertahankan hidup hanya akan berefek dalam memperlama proses penderitaan / sekarat pasien.

5. Pelayanan paliatif adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk mengurangi nyeri/ penderitaan pasien. Hal ini termasuk pemberian nutrisi, hidrasi, dan kenyamanan, kecuali terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi/ hidrasi.


B. Tanggung Jawab
1. Chief Executive Officerdan Dewan Direksi: bertanggungjawab untuk memastikan implementasi Kebijakan Do Not Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer Pelayanan Medis
2. Manajer Pelayanan Medis: memastikan setiap staf / petugas mengetahui dan mematuhi kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR.
3. Staf / Petugas Rumah Sakit: semua staf yang terlibat dalam pengambilan keputusan tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses ini berlangsung harus dilaporkan pada berkas / formulir insidens sesuai dengan algoritma yang berlaku.


C. Prinsip
1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR).
2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
3. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti napas / jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini terjadi.
5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.2
6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan / dokter umum yang bertanggungjawab atas pasien.1Jika terdapat keraguan dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior

7. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
a. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan pasien
b. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP
c. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.
d. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan kuat.
e. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya / sekarat, di mana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kodisi sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan terapetik (risiko/ bahayanya melebihi keuntungannya).
Contoh: henti jantung/ napas yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah akibat penyakit terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat


mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung / napas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari proses sekarat /kematian pasien.

Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do no harm’)


8. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.

9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani perawatan paliatif (di mana usaha RJP adalah sia-sia).1

10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum, atau perawat yang bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan pasien kepada dokter penanggungjawab pasien.

11. Jika, pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien (yang kompeten secara mental).

12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam medis pasien.

13. Di rekam medis, harus tercantum:
a. Tulisan ‘Pasien ini tidak dilakukan resusitasi’
b. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
c. Indikasi / alasan tindakan DNR
d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR
e. Nama dokter penanggungjawab pasien
f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang mengambil keputusan)
Contoh:
− Tanggal 18 Maret 2010
− Pukul 10.30 WIB
− Tidak dilakukan RJP
− Indikasi: syok kardiogenik
− Batas waktu: 24 jam


14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi DNR, misalnya: keganasan fase terminal.


15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas di mana terdapat kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang kompeten.

16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.

17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian / penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan dilakukannya terapi.
b. Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
c. RJP bertentangan dengan keputusan dini /awal yang dibuat oleh pasien, yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan untuk mempertahankan hidup pasien.


D. Keputusan Dini / Awal (Dahulu Dikenal Dengan Istilah Surat Wasiat)
1. Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputusan dini akan penolakan tindakan penyelamatan hidup / nyawa oleh pasien.
2. Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien (autonomi).
3. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi / penanganan lainnya, seperti pemberian obat-obatan, cairan infus, dan lain-lain.1
4. Putuskanlah apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu dilakukan.
5. Berikut adalah beberapa kondisi di mana perlu dilakukan diskusi dengan pasien:
a. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya.
b. Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien.

Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan dalam hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien menyadari, memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta menerima hasil keputusan yang telah didiskusikan. Diskusi juga membahas mengenai manajemen paliatif dan prognosis secara keseluruhan.


6. Berikut adalah beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien:
a. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya / sia-sia
b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien menjadi depresi.
c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin mendiskusikan hal tersebut
d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase sekarat / terminal dari penyakitnya.2
e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil keputusan


7. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan tindakan penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratandi bawah ini:
a. Usia pasien harus > 18 tahun
b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk mengambil keputusan
c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau keluarga/ kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam medis.
d. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:1) penulis / pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu menandatanganinya sendiri)
2) 1 (satu) orang lain sebagai saksi
e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan/ penanganan spesifik, bahkan jika terdapat risiko kematian.
f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).

8. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus atas izin pasien.

9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga / wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan pasien. Jika tidak terdapat keluarga/ wali yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter penanggungjawab pasien.

10. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’ sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.

11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini/awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut (misalnya, pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi tertentu pasien).
c. Situasi/ kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
d. Terdapat perdebatan/ perselisihan mengenai validitas keputusan dini / awal dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.


12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan/ maksudkan, paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan/ hal yang terbaik untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior juga.

13. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya kerena mencari ada tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa instrusksi tersebut ada.

14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.

15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit/ analgesik, manajemen gejala-gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah, inkontinensia), dan manajemen higene/ kebersihan diri pasien.

16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas sebaiknya meminta saran dari dokter senior, dan masalah ini dapat juga dibawa ke komisi etik.

17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil keputusan DNR
bersambung ke Part II

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PANDUAN DO NO RESUCITATE (DNR) RUMAH SAKIT "

Posting Komentar