PANDUAN DO NO RESUCITATE (DNR) RUMAH SAKIT (PARTII)

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 
TENTANG
PANDUAN DO NO RESUCITATE (DNR) RUMAH SAKIT (PARTII)
DIREKTUR RUMAH SAKIT 
sambungan dari Part I



BAB III
PANDUAN DALAM MENDISKUSIKAN KEPUTUSAN DNR DENGAN PASIEN
A. Panduan Berdiskusi
1. Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.
2. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien dalam mendiskusikan hal ini.
3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi / posisi pasien.
4. Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi diskusi.
5. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien, memberi dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter meninggalkan ruangan.
6. Mulailah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan umum seperti bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatalaksana yang dijalaninya.
7. Mengangkat topik utama:
a. Mulai dengan menyatakan: “Saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
b. “Apa yang Anda ingin kami (paramedis) lakukan jika suatu waktu Anda menjadi terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?”
c. Salah satu hal penting adalah mengenai pertanyaan tindakan resusitasi.
d. “Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda berhenti.”
e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa banyak penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangat sakit. Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini.”

8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:
a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah diagnosis ditegakkan.
b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.

9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi jika dilakukan, serta harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya sering memiliki harapan/ ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.

10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang dapat dimengerti oleh pasien.
11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan pemahaman setiap pasien.
12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”

13. Cobalah untuk mengerti:
a. Sudut pandang pasien
b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien
c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang dijalani pasien)

14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang lingkup pengaplikasian di rekam medis.
15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan/ ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.
16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.
17. Penting untuk memisahkan/ membedakan keputusan DNR dengan keputusan mengenai manajemen pasien lainnya.
18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat kecemasan / stress pasien juga.

B. Keputusan DNR Pada Pasien Dewasa Peri-Operatif
1. Tindakan pembedahan dan anestesi turut berkontribusi dalam perubahan kondisi medis pasien dengan keputusan DNR sebelumnya dikarenakan adanya perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan risiko pasien.
2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan instabilitas kardiopulmoner yang akan membutuhkan dukungan/ penanganan medis.
3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan di ruang rawat inap (di mana keputusan DNR ini ditetapkan). Angka keberhasilan RJP di kamar operasi ini dapat mencapai 92%.
4. Menilik dari hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan peninjauan ulang keputusan DNR sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.

5. Rekomendasi:
a. Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur pembedahan harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis.
b. Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter bedah dengan pasien, wali, keluarga, atau dokter penanggungjawab pasien (jika diindikasikan) sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
c. Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh kesepakatan mengenai penanganan apa saja yang akan boleh dilakukan selama prosedur anestesi dan pembedahan.
d. Terdapat 3 (tiga) pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu:
1) Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani anestesi dan pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien keluar dari ruang pemulihan. Saat menjalani pembedahan dan anestesi, lakukan RJP jika terdapat henti jantung / napas.

2) Pilihan kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengizinkan pemberian obat-obatan dan teknik anestesi yang sejalan/ sesuai dengan pemberian anestesi.
Hal ini termasuk:
− Monitor EKG, tekanan darah, oksigenasi, dan monitor intraoperatif lainnya.
− Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan pernapasan dengan intubasi dan ventilasi, jika diperlukan; dan dengan pemahaman bahwa pasien akan bernapas secara spontan di akhir prosedur.
− Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia untuk mengkoreksi stabilitas kardiovaskular yang berhubungan dengan pemberian anestesi dan pembedahan.

Penggunaan kardioversi atau defibrillator untuk mengkoreksi aritmia harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien / wali sahnya. Lakukan juga diskusi mengenai pemberian kompresi dada.


3) Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).
− Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian anestesi umum dalam pembedahan.
− Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan tetap mempertahankan keputusan DNR-nya.
− Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan pasien/ wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan, seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan intravena, sedasi, analgesik, monitor, obat vasopressor, obat anti-aritmia, oksigenasi, atau intervensi lainnya.

e. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat di rekam medis pasien.
f. Pilihan DNR ini harus dikomunikasikan kepada semua petugas medis yang terlibat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang pemulihan.
g. Secara hukum, yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah:
1) Pasien dewasa yang kompeten secara mental
2) Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
3) Dokter penanggungjawab pasien, yang bertindak dengan mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada keputusan DNR dini/ awal yang telah dibuat oleh pasien/ wali sahnya).


h. Jika setelah diskusi, masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan DNR mana yang akan digunakan, pemegang keputusan tetaplah diberikan ke pasien/ wali sahnya.
i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang untuk membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai validitas suatu keputusan DNR dini / awal, atau terdapat keraguan mengenai tindakan apa yang terbaik untuk pasien; segeralah mencari saran kepada komisi etik atau lembaga hukum setempat.
j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang menurutnya terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi yang tersedia.
k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi dan ruang pemulihan.
l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang rawat inap.

6. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada pasien dengan keputusan DNR adalah:
a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya: feeding tube)
b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit kronis pasien (misalnya: apendisitis akut)
c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan edngan penyakit kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif)
d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur)
e. Prosedur untuk menyediakan akses vaskular.

7. Pada situasi emergensi:
a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang mengenai keputusan DNR sebelum melakukan anestesi, pembedahan atau resusitasi.
b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi adanya keputusan DNR dini / awal yang telah dibuat sebelumnya (jika memungkinkan).


8. Fase pre-operatif:
a. Lakukan diskusi antara pasien / wali sah, keluarga, anestesiologis, dokter bedah, dokter penanggungjawab pasien, dan perawat.
b. Lakukan asesmen mengenai:
1) Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien
2) Intervensi pembedahan yang diperlukan
3) Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk:
− Durasi/ batas waktu berlakunya keputusan tersebut
− Siapa yang bertanggungjawab menetapkan keputusan tersebut
− Alasan keputusan tersebut dibuat

4) Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien ini perlu menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangkan dari sudut pandang pasien, keluarga, dokter bedah, dan anestesiologis).
5) Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasan tindakan resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase peri-operatif, lakukan komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka dengan pasien, keluarga, dan atau wali sah pasien.
6) Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di rekam medis pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat, dan cantumkan tanggal keputusan dibuat.
7) Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan kondisi medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan.


9. Fase intra-operatif
a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi.
b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di-transfer ke kamar operasi.
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan keputusan DNR yang diambil.
d. Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif harus hadir selama prosedur berlangsung.

10. Fase pasca-operatif
a. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikan kepada petugas di ruang pemulihan.
b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan/ dipindahkan dari ruang pemulihan.
c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat pasien dari ruang pemulihan ke perawat di ruang rawat inap.
d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya hingga pasien telah ditransfer ke ruang rawat inap pasca-operasi. Misalnya: jika penggunaan infus epidural / alat analgesik akan tetap dipakai oleh pasien pascaoperasi.
e. Harus ada audit rutin mengenai manajemen pasien dengan keputusan DNR yang dijadwalkan untuk menjalani operasi.


C. Keputusan DNR Pada Pediatrik
1. Pada pasien anak (usia < 18 tahun), diskusikan dengan orang tua pasien.
2. Orang tua harus mendapat informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit pasien, prosedur RJP, rekomendasi mengenai RJP dan DNR.
3. Pertimbangkanlah juga kondisi emosional dan tumbuh-kembang pasien anak.
4. Instruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien, kecuali pada kondisi berikut ini Jika RJP dianggap membahayakan pasien atau bersifat non-terapeutik.
5. Di rekam medis, harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua pasien. Keputusan harus ditandatangani oleh dokter, perawat yang terlibat, dan orang tua pasien.
6. Pada kasus tertentu, di mana orang tua tetap meminta dilakukan RJP meskipun tim medis telah memberitahukan bahwa tindakan RJP ini membahayakan pasien/ bersifat non-terapeutik, orang tua diperbolehkan mencari pendapat ekspertise lainnya (second opinion) atau (jika orang tua meminta) diperbolehkan melakukan transfer pasien jika kondisi pasien memungkinkan untuk di-transfer.


7. Jika masih belum ditemukan kesepakatan antara tim medis dengan orang tua pasien, lakukanlah proses peninjauan ulang (review) oleh tim medis untuk menentukan apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti tercantum di bawah ini:
a. Tim medis harus mengkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan diantara anggota timnya mengenai keputusan DNR pada pasien.
b. Minta pendapat dokter lain di luar Tim medis pasien (second opinion) mengenai apakah RJP pada pasien ini bersifat non-terapetik / membahayakan.
c. Jika second opinion ini mendukung keputusan DNR, salah seorang anggota Tim medis harus menghubungi Komisi Etik untuk menjadwalkan konsultasi etik.
d. Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR, tim medis harus memberitahukan/ melaporkannya kepada Kepala Pelayanan Medis dan Lembaga Hukum.
e. Jika Kepala Pelayanan Medis setuju dan Lembaga Hukum menyatakan bahwa keterlibatan secara hukum tidak diperlukan, orang tua harus diberitahu bahwa keputusan DNR akan dituliskan di rekam medis pasien.
f. Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini, orang tua sebaiknya diberikan kesempatan dan bantuan untuk mentransfer pasien ke fasilitas lainnya yang bersedia untuk menerima pasien.
g. Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, instruksi DNR akan dituliskan di rekam medis pasien.


8. Re-asesmen wajib terhadap keputusan DNR sebelum menjalani prosedur anestesi dan pembedahan
a. Pasien dengan instruksi DNR biasanya sering menjalani prosedur anestesi dan pembedahan, terutama prosedur dengan tujuan memfasilitasi perawatan atau mengurangi nyeri.
b. Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secara signifikan dengan situasi di luar ruang operasi sehingga perlu dilakukan re-evaluasi mengenai instruksi DNR.
c. Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam kamar operasi/ selama anestesi berlangsung.
d. Pada beberapa kasus, pasien atau orang tua menginginkan adanya pembatasan usaha resusitasi yang digunakan sepanjang periode peri-operatif.

e. Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, misalnya pemasangan kateter intravena, pemberian cairan dan obat-obatan intravena, dan manajemen jalan napas dan ventilasi pasien.
f. Anestesiologis harus berdiskusi dengan pasien dan atau orang tua, menilai ulang status DNR sebelum dilakukan prosedur pembedahan, dan mengkomunikasikan hasil diskusi ini kepada seluruh petugas rumah sakit yang terlibat dengan perawatan pasien selama periode intra-operatif dan pasca-operatif.
g. Terdapat 3 pilihan instruksi DNR sebelum prosedur anestesi / pembedahan:
1) Pilihan pertama: instruksi DNR dibatalkan untuk sementara (jika terjadi henti napas / jantung, dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya).
2) Pilihan kedua: resusitasi terbatas (spesifik terhadap prosedur). Pasien dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur spesifik, yaitu: kompresi dada, kardioversi.
3) Pilihan ketiga: resusitasi terbatas (spesifik terhadap tujuan). Pasien dilakukan usaha resusitasi hanya jika efek samping yang terjadi dianggap bersifat sementara dan reversible, berdasarkan pertimbangan dokter bedah dan anestesiologis.

h. Harus dicatat di rekam medis pasien.
i. Saat pasien keluar/ dipindahkan dari ruang pemulihan, instruksi DNR ini harus ditinjau ulang.
j. Jika pasien/ orang tua memutuskan untuk tetap memberlakukan instruksi DNR selama menjalani prosedur anestesi / pembedahan, dokter boleh menolak untuk berpartisipasi dalam kasus ini. Pasien/ keluarga harus mencari dokter lain yang bersedia untuk merawat pasien.


D. Dokumentasi
1. Keputusan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di rekam medis pasien dan di formulir Do Not Resuscitate (DNR) (lihat Lampiran 3). Formulir DNR harus diisi dengan lengkap dan disimpan di rekam medis pasien.
2. Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan harus dicatat di rekam medis pasien dan formulir DNR. Keputusan harus dikomunikasikan kepada semua orang yang terlibat dalam aspek perawatan pasien, termasuk dokter gigi, podiatrist, dan sebagainya.
3. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas/ pengoperan pasien ke petugas/ unit lainnya.
4. Di rekam medis, harus dicatat juga mengenai hasil diskusi dengan pasien dan keluarga mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi.
5. Dokumentasi dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa petugas/ unit lain mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien ditransfer ke unit lain).
6. Petugas ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan instruksi DNR ini.
bersambung ke PART III

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PANDUAN DO NO RESUCITATE (DNR) RUMAH SAKIT (PARTII)"

Posting Komentar