PANDUAN RESTRAIN RUMAH SAKIT (PART II)

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 
TENTANG
PANDUAN RESTRAIN RUMAH SAKIT 
DIREKTUR RUMAH SAKIT 


(PART II)
sambungan dari Panduan restrain rumah sakit (part I)

BAB IV
PANDUAN

1. Yang berwenang untuk membuat keputusan mengenai penggunaan restraint adalah dokter penanggung jawab pasien.
a. Jika rumah sakit menggunakan protokol yang mencakup juga mengenai penggunaan restraint/ isolasi, instruksi spesifik dari dokter penanggungjawab pasien tetap diperlukan setiap kali hendak mengaplikasikan restraint/ isolasi.
b. Jika dokter penanggungjawab pasien tidak hadir saat dibutuhkan instruksi, maka tanggung jawab ini harus didelegasikan kepada dokter lainnya. Dokter yang menerima delegasi nantinya akan mengkonsultasikan pasien kepada dokter penangung jawab via telepon.

2. Restraint/ isolasi merupakan suatu hal yang tidak terjadi setiap waktu, bukanlah hal yang rutin terhadap kondisi / perilaku tertentu pasien.

3. Setiap pasien harus dinilai dan intervensi yang diberikan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pasien

4. Restraint/ isolasi ini berperan sebagai cara/ alternatif terakhir jika metode yang kurang restriktif lainnya tidak berhasil/ tidak efektif untuk memastikan keselamatan pasien, staf, atau orang lain. Oleh karena itu, restraint ini tidak boleh dianggap sebagai prosedur/ respon standar dalam penanganan pasien

5. Instruksi mengenai penggunaan restraint/ isolasi ini tidak boleh diberlakukan sebagai instruksi pro re nata (jika perlu).
a. Setiap episode penggunaan restraint / isolasi harus dinilai dan dievaluasi serta berdasarkan instruksi dokter
b. Akhir-akhir ini baru terbebas dari penggunaan restraint / isolasi dan kemudian menunjukkan perilaku yang membahayakan dan hanya dapat diatasi oleh re-aplikasi restraint / isolasi, diperlukan instruksi baru untuk melakukan re-aplikasi.
c. Staf tidak boleh memberhentikan penggunaan restraint isolasi dan kemudian mereaplikasikannya kembali di bawah instruksi yang sama (sebelumnya).

6. Pengecualian
a. Penggunaan side rails yang diindikasikan di rekam medis pasien. Jika status pasien memerlukan penggunaan keempat side rails selama pasien di tempat tidur, tidak diperlukan instruksi pro re nata. Tidak diperlukan instruksi baru setiap kali pasien keluar / kembali ke tempat tidurnya.
b. Perilaku membahayakan diri sendiri. Jika pasien mengalami kondisi medis dan psikiatri kronis, seperti Sindrom Lesch-Nyham, dimana pasien menunjukkan perilaku membahayakan diri sendiri, suatu instruksi penggunaan restraint tidak perlu diperbaharui setiap kalinya. Tujuan penggunaan restraint ini adalah untuk mencegah cedera/bahaya pada diri sendiri.


7. Tidak terdapat kriteria mengenai perilaku apa saja yang dianggap membahayakan. Keputusan mengenai perilaku berbahaya ini dibuat berdasarkan penilaian oleh dokter (clinical judgement).

8. Instruksi penggunaan restraint/ isolasi yang bertujuan untuk manajemen perilaku destruktif/ membahayakan harus dievaluasi dalam kurun waktu tertentu, seperti
tercantum di bawah ini:
a. 4 jam untuk dewasa ≥ 18 tahun ke atas
b. 2 jam untuk anak dan remaja usia 9-17 tahun
c. 1 jam untuk anak < 9 tahun

9. Perlu diketahui: batas waktu evaluasi seperti yang disebutkan di atas tidak berlaku pada kasus penggunaan restraint dengan tujuan manajemen perilaku non-destruktif. Staf harus menilai dan memantau kondisi pasien secara berkala untuk memastikan bahwa :
a. pasien dapat dibebaskan dari restraint/ isolasi pada waktu yang sedini mungkin.
b. restraint atau isolasi hanya boleh dilanjutkan selama kondisi membahayakan tersebut masih berlangsung
c. jika kondisi membahayakan tersebut telah teratasi, penggunaan restraint atau isolasi harus segera dihentikan.

10. Keputusan untuk menghentikan restraint harus berdasarkan pada pertimbangan bahwa restraint/ isolasi tidak lagi dibutuhkan atau bahwa kebutuhan pasien dapat dipenuhi dengan metode yang kurang restriktif.

11. Suatu kondisi pembebasan restraint sementara yang diawasi secara langsung oleh staf dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien (seperti pergi ke kamar mandi, makan, atau latihan gerak tubuh) tidak dianggap sebagai pemberhentian restraint. Selama pasien berada dalam pengawasan langsung oleh staf, tidaklah dianggap sebagai pemberhentian restraint karena pengawasan staf secara langsung dianggap memiliki tujuan serupa dengan penggunaan restraint.

12. Pimpinan rumah sakit bertanggungjawab dalam menciptakan suatu budaya yang mendukung hak pasien untuk terbebas dari restraint/ isolasi. Pimpinan harus memastikan sistem berjalan dengan baik, diimplementasikan, dan dievaluasi secara rutin. Sistem ini membantumenetapkan standar pelayanan pasien sehingga jika secara tidak langsung dapat meminimalisasi penggunaan restraint yang tidak tepat.

13. Penggunaan restraint disesuaikan dengan kebutuhan pasien, kondisi medis, riwayat penyakit, faktor lingkungan, dan preferensi pasien.

14. Dalam mengaplikasikan restraint, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pengunaan restraint harus mempunyai batas waktu pemberlakuannya (maksimal 24 jam).
b. Pasien harus dievaluasi mengenai kondisi dan perlunya penggunaan restraint ini untuk dilanjutkan atau tidak. Batas waktu berlakunya restraint ini ditetapkan oleh rumah sakit.

15. Jika batas waktu berlakunya instruksi restraint hampir berakhir, perawat yang bertugas harus menghubungi dokter untuk melaporkan mengenai keadaan/ kondisi kinis serta hasil asesmen dan evaluasi terkini pasien, sekaligus menanyakan apakah instruksi restraint ini akan dilanjutkan atau tidak (diperbaharui).

16. Untuk kasus aplikasi restraint pada pasien dengan perilaku destruktif:
a. Pasien harus ditemui dan dievaluasi secara langsung dalam waktu 1 jam setelah diberlakukannya instruksi restraint oleh:
− Dokter yang bertugas
− asisten dokter yang terlatih

b. Dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien harus menemui pasien secara langsung dan melakukan asesmen dan evaluasi terhadap pasien sebelum menulis instruksi baru mengenai penggunaan restraint/ isolasi (dalam 24 jam). Evaluasi ini berupa:
− kondisi umum pasien saat itu
− anamnesis: riwayat penyakit pasien, riwayat obat-obatan
− pemeriksaan fisik
− hasil pemeriksaan penunjang
− reaksi/ respon pasien terhadap restrant / isolasi
− kondisi medis dan perilaku pasien
− perlu atau tidaknya untuk menghentikan/ melanjutkan tindakan restraint /
− isolasi

c. Evaluasi ini dilakukan untuk menentukan apakah restraint perlu dilanjutkan atau tidak, faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap perilaku destruktif pasien (misalnya interaksi obat, ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, sepsis), dan apakah aplikasi restraint ini telah sesuai dengan indikasi.

d. Jika dalam suatu kondisi tidak tersedia dokter, makan evaluasi ini dapat dilakukan oleh perawat/ asisten dokter yang terlatih. Setelah evaluasi dilakukan, perawat/ asistendokter harus segera menghubungi dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien. Pelaporan ini harus meliputi (minimal):
− hasil evaluasi pasien
− temuan-temuan terbaru mengenai kondisi pasien
− diskusi mengenai perlu atau tidaknya untuk melanjutkan aplikasi restraint /isolasi
− diskusi mengenai perlunya intervensi/ tata laksana lainnya


17. Kesemuanya ini harus dicatat dalam rekam medis pasien, termasuk hasil asesmen dan evaluasi pasien dan alasan penggunaan restraint/isolasi.

18. Aplikasi restraint/ isolasi harus sejalan/ sesuai dengan modifikasi tertulis dalam rencana asuhan keperawatan pasien.
a. Penggunaan restraint/ isolasi (termasuk obat dan alat) harus didokumentasikan dalam rencana perawatan / tata laksana pasien
b. Keputusan untuk menggunakan restraint/ isolasi haruslah dicatat berikut alasan yang mendasarinya. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada asesmen dan evaluasi pasien.
c. Rencana perawatan pasien harus ditinjau ulang dan diperbaharui dalam rekam medis sesuai dengan tanggal spesifik diberlakukannya suatu restraint / isolasi. 6,7

19. Penggunaan restraint/ isolasi harus diimplementasikan dengan teknik yang benar dan aman.

20. Penggunaan restraint/ isolasi ini tidak boleh menjadi penghalang/ penghambat dalam pemberian penanganan / intervensi lai yang juga diperlukan oleh pasien.

21. Penggunaan restraint/ isolasi harus sesuai dengan instruksi dari dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien emergensi dimana penggunaan restraint diperlukan segera sehingga akan terlalu lama jika menunggu instruksi/izin dari dokter terlebih dahulu, instruksi tersebut harus diperoleh segera (dalam hitungan menit) selama/ setelah restraint diaplikasikan. Sebaiknya dipilih metode yang paling tidak restriktif dalam pengaplikasikan restraint, tetapi harus tetap menjamin keselamatan pasien, staf, dan orang lain dari ancaman bahaya.

22. Penggunaan restraint untuk mengontrol perilaku pasien tidak boleh dianggap sebagai bagian dari pelayanan yang bersifat rutin

23. Penggunaan restraint untuk pencegahan jatuh tidak boleh dianggap sebagai bagian yang rutin dalam program pencegahan jatuh.

24. Tidak ada bukti bahwa penggunaan ‘mechanical restraint’ (termasuk bedrails) akan mencegah atau mengurangi jatuh. Bahkan, kejadian jatuh yang terjadi pada pasien yangdilakukan pembatasan mekanis sering menimbulkan cedera yang lebih berat.


Faktanya, dibeberapa instansi, pengurangan dalam penggunaan ‘pembatasan mekanis’ dapat mengurangi risiko jatuh.
a. Contoh: pasien sindrom Sundowner, dimana gejala demensia pasien menjadi lebih jelas dan nyata di sore hari daripada di pagi hari. Pasien tidak berperilaku agresif atau berbahaya, namun pasien mengalami gangguan gaya berjalan yang tidak stabil dan terus-menerus berusaha untuk turun dari tempat tidur bahkan setelah staf menggunakan beberapa alternatif untuk menjaga pasien tetap berada di tempat tidurnya. Tidak ada ‘bahaya’ signifikan yang dihasilkan dari perilaku berkeliaran pasien. Staf meminta dokter untuk meresepkan sedatif dosis tinggi untuk ‘menidurkan pasien dan menjaganya tetap di tempat tidur. Pasien tidak mempunyai gejala / kondisi medis yang mengindikasikan perlunya menggunakan sedatif. Selain itu, pada tempat tidur pasien juga dipasang bedrails.
b. Penggunaan sedatif pada kasus ini tergolong suatu restraint untuk pasien
c. Pemberian obat sedasi (sebagai restraint) dengan alasan bahwa pasien ‘dapat’ jatuh akibat perilaku berkeliarannya ini bukanlah suatu indikasi yang kuat. Sebenarnya, pada kasus ini, sedasi yang diberikan (restraint) bertujuan untuk ‘kenyamanan’ staf rumah sakit. Oleh karena itu, pemberian sedasi ini dianggap kurang tepat.
d. Saat menilai risiko jatuh pada pasien dan merencanakan asuhan keperawatan, staf harus mempertimbangkan apakah pasien mempunyai kondisi medis yang mengindikasikan kebutuhan akan intervensi protektif untuk mencegah pasien berkeliaran atau turun dari tempat tidur. Riwayat jatuh tanpa adanya penyakit medis yang mendasari tidak cukup kuat untuk mengindikasikan kebutuhan akan restraint.
e. Penting diingat bahwa unsur ‘kenyamanan’ bukanlah alasan yang dapat diterima untuk melakukan restraint terhadap pasien.

25. Restraint tidak boleh dianggap sebagai pengganti pemantauan pasien

26. Untuk menentukan perlu atau tidaknya menggunakan restraint, diperlukan suatu sesmen pada setiap individu secara komprehensif untuk menentukan kebutuhan akan restraint berikut jenis yang dipilih. Asesmen ini harus meliputi pertanyaan di bawah ini (minimal):
a. Apakah terdapat intervensi / tindakan pencegahan yang aman (selain restraint) yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko pasien mengalami cedera / berada dalam kondisi yang ‘membahayakan (misalnya terpeleset, tersandung, atau jatuh jika pasien turun dari tempat tidur) ?
b. Apakah terdapat cara yang memungkinkan pasien untuk dapat bergerak dengan aman?
c. Apakah terdapat alat bantu yang dapat mengingkatkan kemampuan pasien untuk mandiri?
d. Apakah terdapat kondisi / obat-obatan pada pasien yang menyebabkan ketidakseimbangan berjalan?
e. Apakah pasien bersedia untuk berjalan sambil dipapah / ditemani oleh staf?
f. Dapatkah pasien ditempatkan di kamar yang lebih dekat dengan pos perawat dimana pasien tersebut dapat diobservasi dengan lebih baik?

27. Jika dalam asesmen terdapat suatu kondisi medis yang mengindikasikan perlunya intervensi,untuk melindungi pasien dari ancaman bahaya, sebaiknya menggunakan metode yang paling tidak restriktif tetapi efektif.

28. Penggunaan restraint harus sesuai dengan prinsip etis seperti di bawah ini:
a. Beneficence: bertujuan untuk kepentingan pasien (bersifat menguntungkan pasien)
b. Non-maleficence: tidak membahayakan pasien / merugikan pasien
c. Justice: memperlakukan semua pasien dengan setara dan adil
d. Autonomy: menghargai hak pasien dalam mengambil keputusan terhadap dirinya sendiri

29. Dalam menggunakan restraint, harus dipertimbangkan antara risiko yang dapat timbul akibat penggunaan restraint dengan risiko yang dapat timbul akibat perilaku pasien.

30. Permintaan keluarga/ pasien untuk menggunakan restraint (yang dianggap menguntungkan) bukanlah suatu hal yang dapat mendasari diaplikasikannya restraint. Permintaan iniharuslah mempertimbangkan kondisi pasien dan asesmen pasien.


31. Jika telah diputuskan bahwa restraint diperlukan, dokter harus menentukan jenis restraint apa yang akan dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan risiko yang paling kecil dan pilihan yang paling menguntungkan untuk pasien.

32. Staf harus mencatat di rekam medis pasien mengenai keputusan penggunaan restraint dan jenisnya. Dituliskan juga bahwa restraint yang digunakan merupakan intervensi yang paling tidak restriktif namun efektif untuk melindungi pasien dan penggunaan restraint diputuskan berdasarkan asesmen per-individu.

33. Selama penggunaan restraint, pasien harus dipastikan memperoleh asesmen, pemantauan, tatalaksana, dan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.


34. Prosedur yang harus diobservasi sebelum dan setelah aplikasi restraint:
a. Inspeksi tempat tidur, tempat duduk, restraint, dan peralatan lainnya yang akan digunakan selama proses restraint mengenai keamanan penggunaannya
b. Jelaskan kepada pasien mengenai alasan penggunaan restraint
c. Semua objek/ benda yang berpotensi membahayakan (seperti sepatu, perhiasan, selendang, ikat pinggang, tali sepatu, korek api) harus disingkirkan sebelum restraint diaplikasikan
d. Setelah aplikasi restraint, pasien diobservasi oleh staf
e. Kebutuhan pasien, seperti makan, minum, mandi, dan penggunaan toilet akan tetap dipenuhi
f. Secara berkala, perawat akan menilai tanda vital pasien, posisi tubuh pasien, keamanan restraint, dan kenyamanan pasien.
g. Dokter harus diberitahu jika terdapat perubahan signifikan mengenai perilaku pasien

35. Aplikasi restraint dan isolasi secara bersamaan:
a. Hanya diperbolehkan jika pasien dipantau secara terus-menerus oleh:
− Staf bertugas yang berpengalaman dan terlatih
− Staf terlatih dan digunakan pemantauan dengan video dan audio atau observasi secara langsung. Alat pantau ini harus berjarak dekat dengan pasien.
b. Harus ada dokumentasi tertulis yang jelas mengenai alasan penggunaannya.
36. Dokumentasi meliputi:
a. Deskripsi kondisi pasien
b. Deskripsi perilaku pasien
c. Deskripsi alasan dan jenis penggunaan restraint / isolasi
d. Evaluasi perilaku dan kondisi medis pasien setelah pengaplikasian restraint / isolasi
e. Intervensi alternatif / yang bersifat kurang restriktif yang telah dilakukan
f. Respons pasien terhadap intervensi yang digunakan, termasuk rasionalisasi
g. penggunaan restraint/ isolasi


37. Penggunaan borgol, atau alat restriktif lainnya yang dilakukan oleh petugas keamanan pemerintah (non-rumah sakit) untuk tujuan penahanan, detensi, dan alasan keamanan publik dianggap sebagai alat pertahanan/ penegakan hukum dan tidak dianggap sebagai suatu intervensi restraint dalam layanan kesehatan yang digunakan oleh staf ruamh sakit untuk mengekang pasien.
a. Petugas keamanan pemerintah yang bertugas mengawasi secara langsung tahanan yang dirawat di rumah sakit bertanggungjawab dalam penggunaan, aplikasi, dan pemantauan alat restriksi ini, disesuaikan juga dengan hukum setempat yang berlaku.
b. Namun, rumah sakit juga tetap bertanggungjawab terhadap asesmen pasien yang adekuat dan tetap memperhatikan keselamatan pasien serta menjaga pemberian tata sesuai standar.

38. Rumah sakit sebaiknya mewajibkan staf yang terlibat (staf yang mengaplikasikan restraint/isolasi, staf yang bertugas memantau, menilai, atau memberikan pelayanan kepada pasien) memiliki pengetahuan dan memperoleh pelatihan mengenai :
a. teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, dan kejadian – kejadian yang membutuhkan restraint / isolasi.
b. Cara untuk memilih intervensi apa yang paling tidak bersifat restriktif tapi efektif, berdasarkan pada asesmen kondisi medis / perilaku pasien
c. Cara mengaplikasikan restraint dengan aman
d. Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik yang mengindikasikan bahwa restraint / isolasi tidak lagi diperlukan
e. Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien yang mengalami restraint/ diisolasi,termasuk status respirasi dan sirkulasi, integritas kulit, dan tanda vital
f. Teknik melakukan resusitasi jantung paru


39. Rumah sakit harus melaporkan kasus kematian yang berkaitan dengan penggunaan restraint/ isolasi kepada pusat layanan kesehatan setempat. Pelaporan tersebut berupa:
a. Laporan kasus kematian yang terjadi saat pasien dilakukan restraint / isolasi
b. Laporan kasus kematian yang terjadi dalam 24 jam setelah pasien dibebaskan dari restraint / isolasi.
c. Setiap kematian yang terjadi dalam waktu 1 minggu setelah pengaplikasian restraint/ isolasi dimana terdapat pertimbangan bahwa restraint/ isolasi ini berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kematian pasien.



BAB V
EVALUASI PANDUAN / KEBIJAKAN

1. Evaluasi kebijakan restraint/ isolasi ini dilakukan untuk melihat apakah setidaknya halhal di bawah ini terlaksana dengan baik:
a. Siapa yang berwenang untuk menghentikan penggunaan restraint/ isolasi
b. Kondisi-kondisi dimana restraint/ isolasi harus dihentikan
2. Peninjauan terhadap rekam medis pasien yang menjalani restraint dengan tujuan untuk mengontrol perilaku yang membahayakan diri sendiri atau orang lain mencakup hal-hal berikut ini:

a. Pasien yang pernah atau saat ini menggunakan restraint selama dirawat di rumah sakit
b. Alasan-alasan sehingga penggunaan restraint disepakati, dan pertimbangan apa yang ada untuk memutuskan bahwa cara/ metode lain yang lebih tidak restriktif kurang efektif dibandingkan restraint
c. Wawancara staf yang terlibat secara langsung dengan pasien untuk mengetahui sejauh apa yang mereka ketahui dan pahami mengenai kebijakan restraint dan isolasi. Jika terdapat pasien yang saat itu menggunakan restraint, pastikan bahwa telah sesuai dengan indikasi. Tanyakan juga mengenai kapan pasien dimonitor dan diperiksa terakhir kali.
d. Apakah selama ini penggunaan restraint/ isolasi telah sejalan dengan kebijakan dan prosedur restraint yang berlaku di rumah sakit serta sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat?
e. Evaluasi mengenai laporan insidens yang terjadi di rumah sakit untuk menentukan apakah cedera yang dialami oleh pasien terjadi sebelum atau selama restraint digunakan. Apakah insidens tersebut terjadi lebih sering pada pasien yang dilakukan restraint?
f. Jika suatu tinjauan ulang terhadap rekam medis mengindikasikan bahwa pasien yang menerima restraint mengalami cedera, tentukan apa yang telah dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah terjadinya cedera berulang/ berikutnya.


Tentukan apakah rumah sakit telah melakukan modifikasi terhadap kebijakan restraint/ isolasi.
3. Kumpulkan data mengenai penggunaan restraint dan isolasi dalam kurun waktu yang spesifik (misalnya 3 bulan) untuk melihat pola penggunaan restraint di unit-unit tertentu, setiap pergantian jaga, serta pola tiap minggunya.

4. Perhatikan pula apakah jumlah pasien yang menggunakan restraint/ diisolasi meningkat di akhir pekan, saat hari libur, saat malam hari, saat jam pergantian jaga tertentu, saat digunakan jasa perawat honorer, memiliki kecenderungan di satu unit tertentu daripada unit lainnya.

5. Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya penggunaan restraint yang tidak sesuai dengan kepentingan/ kebutuhan pasien, tetapi lebih kepada aspek ‘kenyamanan’, kurangnya staf, atau kurangnya staf yang berpengalaman/ terlatih.

6. Peroleh pula jadwal piket perawat selama bekerja di rumah sakit untuk melihat apakah terdapat pengaruh meningkatnya penggunaan restraint di tingkat staf

7. Lakukan juga wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani restraint. Apakah alasan digunakannya restraint ini dijelaskan kepada pasien dengan kata-kata yang dapat dimengerti?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PANDUAN RESTRAIN RUMAH SAKIT (PART II)"

Posting Komentar